Liturgi
Pemakaman
Konteks Liturgi
Kelompok mencoba
memberikan sebuah liturgi pemakaman pendeta emeritus [laki-laki] yang berasal
dari suku Toraja dan berada dalam konteks pelayanan/melayani (kasarnya:
merantau) di daerah Jawa. Pemakaman yang hendak dilangsungkan adalah pemakaman
yang berusaha untuk membangun nuansa etnis Toraja sebagai identitas asli
almarhum dan juga etnis Jawa sebagai konteks kehidupan/pelayanan almarhum dan
tetap dalam kerangka teologi Kristen. Dalam upaya mempertemukan bentuk-bentuk
nuansa etnis ini, liturgi kali ini dikemas liturgi pemberangkatan jenazah (di
gereja dan arak-arakan) dengan menggunakan etnis Toraja, dan pada saat
pemakaman menggunakan tambahan sedikit filosofi Jawa. Adapun alasan
penggunaan/penambahan unsur etnis Jawa dalam rangkaian ibadah etnis Toraja ini
adalah dengan keyakinan bahwa selain berupaya untuk menggunakan adat Toraja
sebagai identitas almarhum, juga mempertimbangkan bagaimana konteks hidup
almarhum yang dengan niscaya (atau kemungkinan besar) membuat keluarga
[almarhum] menyadari bahwa seluruh rangkaian kegiatan juga harus memperhatikan
nilai-nilai Jawa sebagai wujud ‘kesadaran konteks’ dan ‘toleransi budaya’. Pemakaman
ini sendiri akan dilayani oleh 2 pendeta—di gereja berbeda dengan di pemakaman.
Jemaat yang hadir
diasumsikan bervariasi latar belakang etnis tetapi dominan etnis Toraja.
Liturgi Pemakaman
Pdt. Em. Markus Limbong Allorerung,
M.Th
Posisi awal adalah peti sebagai “semi” fokus
perhatian jemaat. Fokus utama yang diharapkan adalah tetap pada salib yang ada
di hadapan jemaat—sejajar dengan peti. Istri dan keluarga akan duduk di samping
peti—sebuah adat Toraja [yang mungkin juga sudah umum]. Pendeta dan MJ berada
di sisi seberang/lainnya dan pendeta yang melayani berada di tengah. Warna yang
akan menjadi dominan adalah merah. Warna merah ini merupakan warna utama dalam
tradisi Toraja di samping kuning keemasan. Warna liturgis yang dipakai adalah
hitam, akan tetapi dalam simbol-simbol, kami lebih memilih untuk didominasi
dengan nuansa etnis Toraja itu sendiri, yakni merah. Warna liturgis ini hanya
secara implisit dihadirkan dalam pakaian dari MJ dan jemaat—yang diasumsikan
sudah sangat mengerti untuk menggunakan pakaian hitam-hitam.
Simbol/ornamen/hal yang akan berada di hadapan
jemaat—selain peti—adalah 2 batang lilin di kanan/kiri depan peti (yang menyimbolkan pengenangan serta sebuah keyakinan
akan hidup kekal) dan foto jenazah [hal yang lazim dilakukan guna menjelaskan
sosok yang meninggal].
Peti itu sendiri diletakkan dengan posisi kepala
jenazah berada di selatan dengan pemahaman mitos Toraja bahwa tujuan manusia
adalah sebuah tempat bernama Puya (dunia akhirat) yang diyakini berada di
selatan Toraja. Untuk informasi, bahwa dalam perkembangannya memang ada yang
menempatkannya justru ke arah Timur (sebelum pesta pemakaman) atau Barat (pada
saat siap untuk pemakaman, yakni saat sudah siap secara ekonomi yang ditandai
dengan kesiapan menyediakan kerbau).
Di dalam peti itu sendiri akan diletakan Alkitab
sebagai simbol bahwa almarhum adalah seorang percaya (atau secara sempit
sebagai orang Kristen) akan Kristus dan telah mendasari kehidupannya dalam
terang Firman Allah. Dalam peti [sebisa mungkin] tidak ada benda berwarna
hitam. Ini merupakan tradisi yang ada dalam Toraja. Selain itu, di wajah
jenazah diberikan uang koin, emas/perak, dan beberapa simbol benda berharga
sebagai bentuk sebuah penghargaan yang diberikan bagi almarhum. Biasanya
diberikan oleh anak-anaknya sebagai ucapan terima-kasih atau juga balas budi
atas semua pengorbanan almarhum sebagai orang tua yang telah memberikan
segalanya bagi kehidupan anak selama ini.
LITURGI DALAM GEREJA
Prosesi Masuk (berdiri)
Pendeta-pendeta dan
Majelis Jemaat memasuki gereja dari pintu masuk. Sementara prosesi berlangsung,
jemaat menyanyikan lagu KJ. 376: 1-2 “Ikut Dikau Saja TUHAN” bait 1-2.
1.
Ikut Dikau saja Tuhan, jalan damai bagiku;
Aku s'lamat dan sentosa hanya oleh darah-Mu.
2.
Ikut Dikau di sengsara, kar'na janji-Mu teguh:
atas kuasa kegelapan 'ku menang bersama-Mu.
ref :
Aku ingin ikut Dikau dan mengabdi pada-Mu:
dalam Dikau, Jurus'lamat, 'ku bahagia penuh!
Prosesi ini sebagai bentuk kehadiran
pendeta-pendeta rekan sekerja serta sebagai bentuk dimulainya ibadah pemakaman
ini dengan hadirnya para pelayan dari pihak gereja (pendeta yang melayani dan
MJ). Lagu yang dipilih adalah lagu KJ. 376 bait 1 dan 2, di mana dasar
pemilihan lagu ini adalah untuk meneguhkan keluarga dan umat bahwa dalam
kesempatan [walau situasi sedih] kali ini, kita hadir dalam ibadah pemakaman
sebagai sebuah bentuk pengakuan/penghayatan iman dalam mengikut dan menyerahkan
diri/hidup kepada Allah.
Votum dan Salam
Pendeta: Ibadah
ini berlangsung dengan keyakinan bahwa “Pertolongan kita adalah di dalam nama
Allah Sang Pencipta, yang hadir dan berkuasa dalam kehidupan dan kematian.
Kasih karunia Allah menyertai engkau”
Jemaat : Amin
Teologi mengenai Allah digambarkan/ditegaskan
bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang memang daripadaNya-lah kita berasal. Upaya
pastoral sederhana dengan menegaskan bahwa Allah hadir dan berkuasa dalam
kehidupan yang sedang kita jalani. Allah bukan sosok yang tinggal diam dengan
segala realita yang muncul di hadapan manusia, Allah tetap menjadi Allah yang
mau merasakan setiap hal yang hadir dalam kehidupan manusia. Tak berhenti pada
itu saja, Allah juga menjadi Allah yang hadir dalam kematian. Bahwa kehidupan
adalah bagian dari kuasa Allah sebagai Sang Pencipta, maka kematian juga
merupakan bagian dari kuasa Allah sebagai Sang Pencipta. Ia yang menciptakan,
Ia juga yang mengambil. Kematian juga tidak perlu lagi menjadi momok yang
menakutkan, karena toh di sana Allah hadir bahkan berkuasa. Tidak ada yang
dapat mengalahkan kuasa Allah bahkan maut sekalipun.
Nyanyian
KJ. 438 “Apapun Juga Menimpamu” (duduk)
Apapun juga menimpamu,
Tuhan menjagamu.
Naungan kasihNya pelindungmu,
Tuhan menjagamu.
Reff.
Tuhan menjagamu waktu tenang atau tegang,
Ia menjagamu, Tuhan menjagamu.
Lagu yang dipilih adalah lagu KJ. 438 “Apapun Juga
Menimpamu” dengan dasar bahwa apapun yang sedang dialami—yang kenyataannya
adalah sebuah peristiwa menyedihkan—Allah tetap senantiasa hadir menjaga
ciptaanNya. Allah bukan Allah yang hadir dalam sukacita saja. Ini menjadi
sebuah rangkaian penegasan teologi dari votum dan salam bahwa Allah hadir dan
berkuasa dalam setiap waktu dan realita.
Pemberitaan
Firman
·
Doa Epiklese
·
Pembacaan
Alkitab: II Samuel 12:18-25
·
Khotbah
Doa epiklese ditempatkan sebelum pembacaan Alkitab
dengan pemahaman bahwa pembacaan teks Aliktab pun sudah merupakan sebuah
rangkaian dari Firman yang hendak diberitakan.
Nyanyian KJ. 440:1 dan 4 “Di
Badai Topan Dunia”
1.
Di badai
topan dunia
Tuhanlah Perlindunganmu;
kendati goncang semesta,
Tuhanlah Perlindunganmu!
4.
Ya Gunung
Batu yang tetap,
Engkaulah Perlindunganku;
di tiap waktu dan tempat
Engkaulah Perlindunganku!
Reff.
Ya, Yesus Gunung Batu di dunia,
di dunia, di dunia;
Ya, Yesus Gunung Batu di dunia,
tempat berlindung yang teguh.
Lagu yang dipilih kembali dimaksudkan sebagai
penegasan bahwa kekuatan yang hadir dan selayaknya dihadirkan dalam kehidupan
kita adalah berasal dari Allah saja sebagai gunung batu.
Doa Syafaat
Riwayat Hidup Almarhum
Sambutan
·
Sinode
·
Keluarga
Dalam bagian ini, pihak sinode memberikan semacam
sambutan/kesan untuk juga mengenangkan almarhum (rangkaian dari riwayat hidup
yang sudah disampaikan). Pihak keluarga mengucapkan kesan juga ucapan
terimakasih atas perhatian umat—tradisi umum—dan dalam ini juga hadir untuk
menegaskan bahwa barangsiapa yang memiliki keterkaitan hutang-piutang dengan
almarhum dapat datang pada keluarga dan menyelesaikannya.
Penghormatan Terakhir (berdiri)
Pendeta : Jemaat yang terkasih, kita akan bersama-sama
memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum dengan memercikan minyak. Pemercikan
minyak akan diawali oleh keluarga dan kemudian akan dilanjutkan oleh jemaat.
Pemercikan minyak [wangi] sebagai simbol dari penghormatan
yang tampaknya cukup umum digunakan.
Penutupan Peti
Pemberangkatan/Arak-arakan
Pendeta : “Marilah
kita menghantarkan saudara terkasih kita, Alm. Pdt. Em. Markus Limbong
Allorerung, M.Th ke tempat peristirahatan terakhirnya.”
Adapun urutan dalam arak-arakan tersebut adalah
anak-anak almarhum, istri, keluarga, peti yang digotong oleh pendeta/MJ, dan
kemudian jemaat. Urut-urutan ini diambil dari tradisi Toraja itu sendiri. Sesampainya
di pemakaman, peti diletakkan dengan posisi kepala berada di utara. Posisi ini
berubah karena sudah dalam kontekstualisasi Jawa, di mana pada umumnya
masyarakat Jawa memakamkan jenazah dengan posisi kepala di utara.
LITURGI DI PEMAKAMAN
Nyanyian KJ 266:1
Ada kota yang indah cerah,
nampaklah bagi mata iman:
rumah Bapa di sorga baka
bagi orang yang sudah menang.
Reff.
Indahnya saatnya kita jumpa di kota permai.
Indahnya saatnya kita jumpa di kota permai.
Penjelasan pemilihan lagu: sebuah pastoral
sederhana, sebuah lagu penguatan bahwasanya dalam Allah, kita yang hidup [dan
yang mati] memiliki sebuah pengharapan.
Pendeta:
To ina indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri punyo
Pa’tondokkan marendeng
Kita
hanya pinjaman dunia
Yang
dipakai hanya untuk sesaat
Alam
bakalah negeri yang kekal
Akhir
dari perjalanan hidup yang sesungguhnya
Ini adalah sebuah kata-kata filosofis Toraja.
Pengakuan Iman Rasuli
Persembahan Pujian (VG/PS)
Penurunan Peti
Nyanyian Jemaat: Lagu Taize “Ke dalam tangan Bapa”
Kedalam tangan Bapa, aku serahkan hidupku
Kedalam tangan Bapa,
aku serahkan hidupku...
Alasan pemilihan lagu: sebuah keyakinan bahwa kini
almarhum diserahkan kembali pada Sang Pemilik Hidup serta dengan sebuah
keyakinan bahwa umat yang hidup pun harus tetap dengan menyerahkan kehidupan
selanjutnya yang akan kita jalani pada kuasa Sang Pemilik Hidup.
Pelemparan Tanah
Pendeta : Dunia ini hanyalah tempat sementara. Manusia
hidup harus menyadari akan asal mula dan tujuannya. Sang Penciptalah asal kita
dan kepada Sang Penciptalah kita menuju. Dari debu tanahlah manusia diciptakan
dan pada akhirnya akan kembali kepada tanah. (pendeta sambil melemparkan tanah ke makam)
Dilanjutkan melemparkan tanah oleh
anggota keluarga. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengurukan/pemakaman.
Rumusan ini sudah merupakan perpaduan antara
pemahaman Toraja (pa’tondokan marendeng), Jawa (sangkan paraning dumadi) dan
kekristenan (dari tanah kembali ke tanah). Formulasi ini pada intinya
mengingatkan bahwa kita harus ingat asal kehidupan kita serta ke mana kita akan
menuju.
Pemakaman
Berkat
Pendeta : Kini marilah kita meneruskan kehidupan kita,
kembali ke tengah realita dan peziarahan hidup. Oleh karena itu, marilah kita
menerima berkat ilahi, “Kasih karunia Sang Pencipta yang terus senantiasa
menjaga seluruh ciptaanNya, teladan Yesus Sang Kristus, serta hikmat Sang Roh
Penyerta. AMIN”
Formulasi
teologi akan trinitas dipahami demikian:
·
Allah sebagai Sang Pencipta yang adalah Sang
Sumber Kehidupan. Allah sebagai yang empunya manusia—ciptaan.
·
Yesus Kristus sebagai teladan kehidupan manusia. Terang
kasih yang Ia teladankan menjadi jalan keselamatan (juruselamat) manusia.
·
Roh Kudus yang dipahami sebagai Roh yang
memberikan kemampuan, kekuatan, dan penghiburan bagi umat—termasuk keluarga dan
umat yang berduka karena ditinggalkan. Roh Penyerta ini yang memberikan terang
hikmat bagi manusia.
Peletakan Karangan Bunga oleh keluarga (istri,
anak, kerabat) dan tabur bunga oleh jemaat yang datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar