Rabu, 15 Februari 2012

Liturgi Pemakaman Pendeta Gereja Toraja Di Jogja





Liturgi Pemakaman
Konteks Liturgi
Kelompok mencoba memberikan sebuah liturgi pemakaman pendeta emeritus [laki-laki] yang berasal dari suku Toraja dan berada dalam konteks pelayanan/melayani (kasarnya: merantau) di daerah Jawa. Pemakaman yang hendak dilangsungkan adalah pemakaman yang berusaha untuk membangun nuansa etnis Toraja sebagai identitas asli almarhum dan juga etnis Jawa sebagai konteks kehidupan/pelayanan almarhum dan tetap dalam kerangka teologi Kristen. Dalam upaya mempertemukan bentuk-bentuk nuansa etnis ini, liturgi kali ini dikemas liturgi pemberangkatan jenazah (di gereja dan arak-arakan) dengan menggunakan etnis Toraja, dan pada saat pemakaman menggunakan tambahan sedikit filosofi Jawa. Adapun alasan penggunaan/penambahan unsur etnis Jawa dalam rangkaian ibadah etnis Toraja ini adalah dengan keyakinan bahwa selain berupaya untuk menggunakan adat Toraja sebagai identitas almarhum, juga mempertimbangkan bagaimana konteks hidup almarhum yang dengan niscaya (atau kemungkinan besar) membuat keluarga [almarhum] menyadari bahwa seluruh rangkaian kegiatan juga harus memperhatikan nilai-nilai Jawa sebagai wujud ‘kesadaran konteks’ dan ‘toleransi budaya’. Pemakaman ini sendiri akan dilayani oleh 2 pendeta—di gereja berbeda dengan di pemakaman.
Jemaat yang hadir diasumsikan bervariasi latar belakang etnis tetapi dominan etnis Toraja.

Liturgi Pemakaman
Pdt. Em. Markus Limbong Allorerung, M.Th

Posisi awal adalah peti sebagai “semi” fokus perhatian jemaat. Fokus utama yang diharapkan adalah tetap pada salib yang ada di hadapan jemaat—sejajar dengan peti. Istri dan keluarga akan duduk di samping peti—sebuah adat Toraja [yang mungkin juga sudah umum]. Pendeta dan MJ berada di sisi seberang/lainnya dan pendeta yang melayani berada di tengah. Warna yang akan menjadi dominan adalah merah. Warna merah ini merupakan warna utama dalam tradisi Toraja di samping kuning keemasan. Warna liturgis yang dipakai adalah hitam, akan tetapi dalam simbol-simbol, kami lebih memilih untuk didominasi dengan nuansa etnis Toraja itu sendiri, yakni merah. Warna liturgis ini hanya secara implisit dihadirkan dalam pakaian dari MJ dan jemaat—yang diasumsikan sudah sangat mengerti untuk menggunakan pakaian hitam-hitam.
Simbol/ornamen/hal yang akan berada di hadapan jemaat—selain peti—adalah 2 batang lilin di kanan/kiri depan peti (yang menyimbolkan pengenangan serta sebuah keyakinan akan hidup kekal) dan foto jenazah [hal yang lazim dilakukan guna menjelaskan sosok yang meninggal].
Peti itu sendiri diletakkan dengan posisi kepala jenazah berada di selatan dengan pemahaman mitos Toraja bahwa tujuan manusia adalah sebuah tempat bernama Puya (dunia akhirat) yang diyakini berada di selatan Toraja. Untuk informasi, bahwa dalam perkembangannya memang ada yang menempatkannya justru ke arah Timur (sebelum pesta pemakaman) atau Barat (pada saat siap untuk pemakaman, yakni saat sudah siap secara ekonomi yang ditandai dengan kesiapan menyediakan kerbau).
Di dalam peti itu sendiri akan diletakan Alkitab sebagai simbol bahwa almarhum adalah seorang percaya (atau secara sempit sebagai orang Kristen) akan Kristus dan telah mendasari kehidupannya dalam terang Firman Allah. Dalam peti [sebisa mungkin] tidak ada benda berwarna hitam. Ini merupakan tradisi yang ada dalam Toraja. Selain itu, di wajah jenazah diberikan uang koin, emas/perak, dan beberapa simbol benda berharga sebagai bentuk sebuah penghargaan yang diberikan bagi almarhum. Biasanya diberikan oleh anak-anaknya sebagai ucapan terima-kasih atau juga balas budi atas semua pengorbanan almarhum sebagai orang tua yang telah memberikan segalanya bagi kehidupan anak selama ini.



LITURGI DALAM GEREJA
Prosesi Masuk                        (berdiri)
Pendeta-pendeta dan Majelis Jemaat memasuki gereja dari pintu masuk. Sementara prosesi berlangsung, jemaat menyanyikan lagu KJ. 376: 1-2  “Ikut Dikau Saja TUHAN” bait 1-2.

1.        Ikut Dikau saja Tuhan, jalan damai bagiku;
Aku s'lamat dan sentosa hanya oleh darah-Mu.
2.        Ikut Dikau di sengsara, kar'na janji-Mu teguh:
atas kuasa kegelapan 'ku menang bersama-Mu.

ref :
Aku ingin ikut Dikau dan mengabdi pada-Mu:
dalam Dikau, Jurus'lamat, 'ku bahagia penuh!

Prosesi ini sebagai bentuk kehadiran pendeta-pendeta rekan sekerja serta sebagai bentuk dimulainya ibadah pemakaman ini dengan hadirnya para pelayan dari pihak gereja (pendeta yang melayani dan MJ). Lagu yang dipilih adalah lagu KJ. 376 bait 1 dan 2, di mana dasar pemilihan lagu ini adalah untuk meneguhkan keluarga dan umat bahwa dalam kesempatan [walau situasi sedih] kali ini, kita hadir dalam ibadah pemakaman sebagai sebuah bentuk pengakuan/penghayatan iman dalam mengikut dan menyerahkan diri/hidup kepada Allah.

Votum dan Salam
Pendeta: Ibadah ini berlangsung dengan keyakinan bahwa “Pertolongan kita adalah di dalam nama Allah Sang Pencipta, yang hadir dan berkuasa dalam kehidupan dan kematian. Kasih karunia Allah menyertai engkau”
Jemaat :  Amin

Teologi mengenai Allah digambarkan/ditegaskan bahwa Allah adalah Sang Pencipta yang memang daripadaNya-lah kita berasal. Upaya pastoral sederhana dengan menegaskan bahwa Allah hadir dan berkuasa dalam kehidupan yang sedang kita jalani. Allah bukan sosok yang tinggal diam dengan segala realita yang muncul di hadapan manusia, Allah tetap menjadi Allah yang mau merasakan setiap hal yang hadir dalam kehidupan manusia. Tak berhenti pada itu saja, Allah juga menjadi Allah yang hadir dalam kematian. Bahwa kehidupan adalah bagian dari kuasa Allah sebagai Sang Pencipta, maka kematian juga merupakan bagian dari kuasa Allah sebagai Sang Pencipta. Ia yang menciptakan, Ia juga yang mengambil. Kematian juga tidak perlu lagi menjadi momok yang menakutkan, karena toh di sana Allah hadir bahkan berkuasa. Tidak ada yang dapat mengalahkan kuasa Allah bahkan maut sekalipun.

Nyanyian KJ. 438  “Apapun Juga Menimpamu”      (duduk)
Apapun juga menimpamu,
Tuhan menjagamu.
Naungan kasihNya pelindungmu,
Tuhan menjagamu.
Reff.
Tuhan menjagamu waktu tenang atau tegang,
Ia menjagamu, Tuhan menjagamu.

Lagu yang dipilih adalah lagu KJ. 438 “Apapun Juga Menimpamu” dengan dasar bahwa apapun yang sedang dialami—yang kenyataannya adalah sebuah peristiwa menyedihkan—Allah tetap senantiasa hadir menjaga ciptaanNya. Allah bukan Allah yang hadir dalam sukacita saja. Ini menjadi sebuah rangkaian penegasan teologi dari votum dan salam bahwa Allah hadir dan berkuasa dalam setiap waktu dan realita.

Pemberitaan Firman
·         Doa Epiklese
·         Pembacaan Alkitab: II Samuel 12:18-25
·         Khotbah

Doa epiklese ditempatkan sebelum pembacaan Alkitab dengan pemahaman bahwa pembacaan teks Aliktab pun sudah merupakan sebuah rangkaian dari Firman yang hendak diberitakan.

Nyanyian KJ. 440:1 dan 4  “Di Badai Topan Dunia”

1.         Di badai topan dunia
Tuhanlah Perlindunganmu;
kendati goncang semesta,
Tuhanlah Perlindunganmu!
4.           Ya Gunung Batu yang tetap,
Engkaulah Perlindunganku;
di tiap waktu dan tempat
Engkaulah Perlindunganku!

Reff.
Ya, Yesus Gunung Batu di dunia,
di dunia, di dunia;
Ya, Yesus Gunung Batu di dunia,
tempat berlindung yang teguh.

Lagu yang dipilih kembali dimaksudkan sebagai penegasan bahwa kekuatan yang hadir dan selayaknya dihadirkan dalam kehidupan kita adalah berasal dari Allah saja sebagai gunung batu.

Doa Syafaat

Riwayat Hidup Almarhum

Sambutan
·         Sinode
·         Keluarga

Dalam bagian ini, pihak sinode memberikan semacam sambutan/kesan untuk juga mengenangkan almarhum (rangkaian dari riwayat hidup yang sudah disampaikan). Pihak keluarga mengucapkan kesan juga ucapan terimakasih atas perhatian umat—tradisi umum—dan dalam ini juga hadir untuk menegaskan bahwa barangsiapa yang memiliki keterkaitan hutang-piutang dengan almarhum dapat datang pada keluarga dan menyelesaikannya.

Penghormatan Terakhir (berdiri)
Pendeta  :  Jemaat yang terkasih, kita akan bersama-sama memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum dengan memercikan minyak. Pemercikan minyak akan diawali oleh keluarga dan kemudian akan dilanjutkan oleh jemaat.

Pemercikan minyak [wangi] sebagai simbol dari penghormatan yang tampaknya cukup umum digunakan.

Penutupan Peti

Pemberangkatan/Arak-arakan
Pendeta  : “Marilah kita menghantarkan saudara terkasih kita, Alm. Pdt. Em. Markus Limbong Allorerung, M.Th ke tempat peristirahatan terakhirnya.”

Adapun urutan dalam arak-arakan tersebut adalah anak-anak almarhum, istri, keluarga, peti yang digotong oleh pendeta/MJ, dan kemudian jemaat. Urut-urutan ini diambil dari tradisi Toraja itu sendiri. Sesampainya di pemakaman, peti diletakkan dengan posisi kepala berada di utara. Posisi ini berubah karena sudah dalam kontekstualisasi Jawa, di mana pada umumnya masyarakat Jawa memakamkan jenazah dengan posisi kepala di utara.

LITURGI DI PEMAKAMAN
Nyanyian KJ 266:1
Ada kota yang indah cerah,
nampaklah bagi mata iman:
rumah Bapa di sorga baka
bagi orang yang sudah menang.
Reff.
Indahnya saatnya kita jumpa di kota permai.
Indahnya saatnya kita jumpa di kota permai.

Penjelasan pemilihan lagu: sebuah pastoral sederhana, sebuah lagu penguatan bahwasanya dalam Allah, kita yang hidup [dan yang mati] memiliki sebuah pengharapan.

Pendeta: To ina indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri punyo
Pa’tondokkan marendeng
Kita hanya pinjaman dunia
Yang dipakai hanya untuk sesaat
Alam bakalah negeri yang kekal
Akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya

Ini adalah sebuah kata-kata filosofis Toraja.

Pengakuan Iman Rasuli

Persembahan Pujian (VG/PS)

Penurunan Peti
Nyanyian Jemaat: Lagu Taize “Ke dalam tangan Bapa”
                                                Kedalam tangan Bapa, aku serahkan hidupku
                                                Kedalam tangan Bapa, aku serahkan hidupku... 

Alasan pemilihan lagu: sebuah keyakinan bahwa kini almarhum diserahkan kembali pada Sang Pemilik Hidup serta dengan sebuah keyakinan bahwa umat yang hidup pun harus tetap dengan menyerahkan kehidupan selanjutnya yang akan kita jalani pada kuasa Sang Pemilik Hidup.

Pelemparan Tanah
Pendeta  :  Dunia ini hanyalah tempat sementara. Manusia hidup harus menyadari akan asal mula dan tujuannya. Sang Penciptalah asal kita dan kepada Sang Penciptalah kita menuju. Dari debu tanahlah manusia diciptakan dan pada akhirnya akan kembali kepada tanah. (pendeta sambil melemparkan tanah ke makam)
Dilanjutkan melemparkan tanah oleh anggota keluarga. Setelah itu, dilanjutkan dengan pengurukan/pemakaman.

Rumusan ini sudah merupakan perpaduan antara pemahaman Toraja (pa’tondokan marendeng), Jawa (sangkan paraning dumadi) dan kekristenan (dari tanah kembali ke tanah). Formulasi ini pada intinya mengingatkan bahwa kita harus ingat asal kehidupan kita serta ke mana kita akan menuju.

Pemakaman

Berkat
Pendeta  :  Kini marilah kita meneruskan kehidupan kita, kembali ke tengah realita dan peziarahan hidup. Oleh karena itu, marilah kita menerima berkat ilahi, “Kasih karunia Sang Pencipta yang terus senantiasa menjaga seluruh ciptaanNya, teladan Yesus Sang Kristus, serta hikmat Sang Roh Penyerta. AMIN”




Formulasi teologi akan trinitas dipahami demikian:
·           Allah sebagai Sang Pencipta yang adalah Sang Sumber Kehidupan. Allah sebagai yang empunya manusia—ciptaan.
·           Yesus Kristus sebagai teladan kehidupan manusia. Terang kasih yang Ia teladankan menjadi jalan keselamatan (juruselamat) manusia.
·           Roh Kudus yang dipahami sebagai Roh yang memberikan kemampuan, kekuatan, dan penghiburan bagi umat—termasuk keluarga dan umat yang berduka karena ditinggalkan. Roh Penyerta ini yang memberikan terang hikmat bagi manusia.

Peletakan Karangan Bunga oleh keluarga (istri, anak, kerabat) dan tabur bunga oleh jemaat yang datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar