Sarjana Terlambat adalah
judul puisi yang dikarang oleh Romo Pius OCSO. Ketika saya mendapat puisi ini,
saya sontak mengatakan “sial!!”, mengapa? karena saya merasa tersentil dengan
judulnya yang pasti akan membuat saya tersentuh. Membaca kata demi kata membuat
saya menarik nafas panjang. Selama satu
hampir satu semester ini saya merasa bahwa saya hanya melakukan aktifitas
karena saya bernafas. Namun saya pun tak tahu apa tujuan saya melakukan itu
semua. Saya memang sengaja melakukan banyak kegiatan, jadi pengurus gereja,
organisasi di kampus, ikut bela diri, hal ini semata-mata agar saya tidak
pernah merasa hampa dan sendiri. namun setelah beraktifitas selama satu harian,
saya duduk dikamar dan tiba-tiba bertanya “apa yang telah aku lakukan hari ini?
apa gunanya? apa tujuannya?” namun saya hanya mengalihkan pertanyaan ini pada
kegiatan yang lain. Mungkin ini seperti yang saya pernah sharing kan, saya
mengatakan bahwa hal itu mungkin dikarenakan saya tidak melakukan apa yang
seharusnya seorang manusia lakukan terhadap penciptaa nya. Ya, saya lupa siapa jati diri saya, siapa saya,
bagaimana saya. Saya akan tahu itu ketika saya ingat bahwa saya adalah ciptaan
dan saya melakukan semuanya itu semua atas kehendak Dia, dan saya tak mampu
melakukan apa-apa tanpa Dia.
Dari puisi yang
di dapat oleh seorang teman, ada juga perkataan “hidup adalah memutiara” (saya
kurang yakin pasti dengan kata tepatnya). Memutiara, menjadi indah namun dengan
proses bahkan yang sangat menyakitkan sekaligus. dan mutiara tercipta bukan
hanya untuk dirinya, namun juga untuk orang lain, untuk manusia untuk perhiasan
yang memperindah mereka. Saya melihat memang ini lah seharusnya manusia yang
hidup adalah manusia yang berproses menjadi sempurna sebelum kembali kepada
sang pencipta. Hidup yang kudus yang secara tak langsung dan tanpa disadari akan
berdampak kepada kehidupan sesama, bukan untuk dirinya sendiri namun untuk
kepentingan orang lain. walau saya mungkin melihat apabila memang apa yang
dimaksudkan dengan memutiara seperti ini, itu berarti tidak semua manusia dapat
menjadi mutiara.
Dari apa yang
saya dapatkan ketika ssharing dengan frater Stefanus membuat saya berkemungkinan
akan mampu mengatasi kejenuhan saya. Ketika jenuh, frater mengatakan bahwa kita
harus mempertanyakan kenapa ada kejenuhan itu, mengapa ia jenuh melakukan itu,
mengapa ia melakukan itu, apa arti perlakuan itu. Dan ketika ia tak menemukan
jawabannya ia akan pergi untuk lari-lari di kebun kopi. Hal ini lah mungkin jawaban
selama ini yang saya cari, bagaimana mengatasi kejenuhan? Selama ini saya hanya
lari dari kejenuhan itu, bukan mencari mengapa dan bagaimana gaya hidup yang
membuat saya tidak jenuh. Saya hanya terjatuh dalam lumpur kejenuhan dan hanya
bisa diam, menangis dan tidak melakukan apa-apa. Kadang tangisan itu
dikarenakan saya merasa tak ada yang spesial, smua begitu-begitu saja, saya
bosan, saya ingin keluar dari rutinitas ini. Titik jenuh menurut saya kini
merupakan titik dimana saya harus diam sejenak dan memperbaharui beberapa hal,
memperbaharui tenaga saya, memperbaharui pemahman saya, memperbaharui iman saya
dan memperbaharui iman saya. sehingga saya mampu melangkah lagi ya walaupun
tidak sama baru dengan semangat awal saya datang ke Jogjakarta.
Simplicity yang
sesungguhnya saya lihat dari kehidupan para rahib di rawaseneng ini. Pemilihan
tempat yang berada di dataran tinggi menurut saya adalah pemilihan tempat yang
sangat baik menurut saya. Hal ini dikarenakan bukan semata-mata karena ingin
mendapat keheningan ( ditempat ramai kita juga bisa hening ) namun saya melihat ini juga ada
pertimbangan ekologis. Di tempat tinggi mereka tidak butuh pendingin ruangan,
hanya butuh beberapa kipas yang dinyalakan ketika siang. Tanah yang mereka
kelola juga ditanami tubuhan dengan baik, salah satunya kopi. Setidaknya ada
pupuk alami yang mereka gunakan yaitu pupuk kandang dari kotoran sapi. kesederhanaan hidup yang saya lihat dari
makanan yang saya makan selama di rawaseneng, satu jenis sayur dan satu jenis
lauk, tidak ada pilihan lain dan tidak ada alasan berlebih. Simpilcity yang
menjadi gaya hidup mereka sebagai rahib memang memiliki tujuan. Makan makanan
sehat seperti yang dikatakan Rm. Abbas agar panjang umur, pendek umur di dukung
oleh makan makanan yang tidak jelas. alat-alat yang ada juga dipakai sesuai
dengan porsinya, mematikan microphone ketika berdiri dan menyaalakan lagi
ketika duduk. Hal ini membuat saya terkadang berpikir apakah saya mampu
melakukan ini. Saya mampu menghabiskan lebih dari 8 jam untuk On Line.
Selain itu,
kontemplatif aktif bukan hanya di hidupi oleh para rahib dan suster namun juga
para tamu yang datang. Hal ini terlihat ketika makan, tamu mencuci piring
sendir dan menata kembali. Hal ini saya memang rasakan bahwa dalam
berkontemplasi bukan harus diam duduk dan mengunci kamar. namun kontemplasi itu
juga beraksi, melakukan sesuatu. Saya juga mendapat tambahan dari kelas spirit
tanggal 1 Mei 2012 dikatakan bahwa
kontemplasi adalah bermula dari hal-hal yang sering kita lihat rasakan atau
lakukan maupun yang pertama kali dirasakan, dilihat dan dikejar. Lalu mampu
melihat arti dari mengalaman itu dan masuk kedalam pengalaman itu sendiri. Dari
pengalaman pertama sejak semester satu, ketika ada acara sejenis misalnya
retreat, tidak pernah mencuci piring sendiri, namun ini mau dilihat mampu dan
mau kah kita berkontemplasi dalam hidup sehari-hari.Bahkan bukan hanya kegiatan
sehari-hari namun pengalaman-pengalaman kita yang sederhana kita juga dpat
berkontemplasi daripadanya.
Pergi berdoa ke
pertapaan membuat saya sungguh terkagum-kagum tanpa dapat mengekspresikan. Hal
ini ketika mempelajari tentang petapa senobit dan eremit, seakan-akan saya
hanya melihat sejarah dan kisah mereka selayaknya dongeng. Dengan pertanyaan
yang melintas dalam pikiran saya “apakah ada orang-orang yang mampu
melakukannya? jangankan mampu, untuk “mau” saja saya tidak akan pernah”. Namun
dengan mengikuti gaya hidup mereka (setidaknya 3 kali jadwal berdoa mereka),
saya merasakan bahwa hidup mereka tergantung kepada berdoa. Berdoa adalah
makanan dan minuman mereka, makanan adalah nafas mereka para pertapa.
Ketika di kamar,
saya diperhadapkan pertanyaan seorang teman yang mengatakan “gaji mereka dari
mana?”. Saya yang dahulu hidup di asrama katolik yang berdekatan dengan
susteran pernah tahu bahwa para suster yang mengajar di sekolah, kerja di rumah
sakit itu hanya di berikan uang saku Rp. 50.000 perbulan dan itu bukan gaji, karena mereka
tidak di gaji. Ya kemungkinan teman saya sedikit terkejut dengan jawaban ini,
namun saya mulai dapat menjawab pertanyaan ini, bahwa para pertapa hidup bukan
karena gaji semata tetapi karena doa yang terus-menerus mereka ucapkan.
Mengalami
pengalaman doa yang sedemikian rupa membuat saya merasa bahwa pola hidup yang seperti ini cukup
membosankan. Membosankan ketika saya harus hidup dengan rutinitas yang sama
sepanjang hidup saya. Walaupun ada pekerjaan yang harus saya kerjakan namun saya
akan bosan dengan itu rutinitas yang sedemikian rupa. Dengan karakter saya yang
memang harus bekerja dengan orang lain dan dengan dunia luar, saya tidak akan
dapat melaksanakan rutinitas seperti seorang rahib. Namun saya butuh saat-saat dimana saya
menarik diri untuk menjalankan rutinitas sedemikian dalam beberapa waktu. Hal
ini untuk mengheningkan diri dan lebih dekat lagi dengan alam dan TUHAN.
Kemanapun saya
pergi dan dimana pun saya berada, keheningan akan melingkupi kehidupan manusia.
Hal ini saya ketahui ketika mengikuti P2SM, dimana semua agama memiliki konsep
keheningannya masing-masing. Dimana keheningan menjadi sarana untuk kita mampu
lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Hening bukanlah tujuan, namun hanya siebatas
sarana. Di pertapaan, para rahib sudah terbiasa hening. Sampai-sampai ketika
hendak kepeternakan, disarankan untuk tidak terlalu ribut karena akan
mengganggu sapi-sapi. Hal ini memperlihatkan bahwa sapi juga pribadi yang
memiliki keheningannya sendiri sehingga berproduksi lebih baik daripada berada
dalam ketidakheningan.
Dari bangunan
Kapel saya tidak bisa melihat sesuatu yang mengandung hal-hal yang bisa saya
katakan sebagai cerminan petapa. Hal ini karena dalam bayangan saya pertapa
memang dicerminkan dari kehidupan yang sangat-sangat sederhana. Kapel yang
lebih tepat disebut sebagai gereja. bangunannya cukup luas dan cukup memadai
untuk menjadi gereja. namun selama saya disana saya tidak tahu apakah semua
kapel para pertapa memang seperti gereja. saya memang masih dipengaruhi keadaan
susteran di sekolah saya dahulu, dimana kapel hanya khusus untuk suster-suter
berdoa dan itu hanya seperti ruangan namun sedikit luas dan sangat sederhana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar