Sabtu, 16 Juni 2012

Berdoa dan bekerja dalam kesederhanaan dan perduli terhadap pribadi-pribadi yang diciptakan oleh TUHAN




Sarjana Terlambat adalah judul puisi yang dikarang oleh Romo Pius OCSO. Ketika saya mendapat puisi ini, saya sontak mengatakan “sial!!”, mengapa? karena saya merasa tersentil dengan judulnya yang pasti akan membuat saya tersentuh. Membaca kata demi kata membuat saya menarik nafas panjang.  Selama satu hampir satu semester ini saya merasa bahwa saya hanya melakukan aktifitas karena saya bernafas. Namun saya pun tak tahu apa tujuan saya melakukan itu semua. Saya memang sengaja melakukan banyak kegiatan, jadi pengurus gereja, organisasi di kampus, ikut bela diri, hal ini semata-mata agar saya tidak pernah merasa hampa dan sendiri. namun setelah beraktifitas selama satu harian, saya duduk dikamar dan tiba-tiba bertanya “apa yang telah aku lakukan hari ini? apa gunanya? apa tujuannya?” namun saya hanya mengalihkan pertanyaan ini pada kegiatan yang lain. Mungkin ini seperti yang saya pernah sharing kan, saya mengatakan bahwa hal itu mungkin dikarenakan saya tidak melakukan apa yang seharusnya seorang manusia lakukan terhadap penciptaa nya. Ya,  saya lupa siapa jati diri saya, siapa saya, bagaimana saya. Saya akan tahu itu ketika saya ingat bahwa saya adalah ciptaan dan saya melakukan semuanya itu semua atas kehendak Dia, dan saya tak mampu melakukan apa-apa tanpa Dia.
Dari puisi yang di dapat oleh seorang teman, ada juga perkataan “hidup adalah memutiara” (saya kurang yakin pasti dengan kata tepatnya). Memutiara, menjadi indah namun dengan proses bahkan yang sangat menyakitkan sekaligus. dan mutiara tercipta bukan hanya untuk dirinya, namun juga untuk orang lain, untuk manusia untuk perhiasan yang memperindah mereka. Saya melihat memang ini lah seharusnya manusia yang hidup adalah manusia yang berproses menjadi sempurna sebelum kembali kepada sang pencipta. Hidup yang kudus yang secara tak langsung dan tanpa disadari akan berdampak kepada kehidupan sesama, bukan untuk dirinya sendiri namun untuk kepentingan orang lain. walau saya mungkin melihat apabila memang apa yang dimaksudkan dengan memutiara seperti ini, itu berarti tidak semua manusia dapat menjadi mutiara.
Dari apa yang saya dapatkan ketika ssharing dengan frater Stefanus membuat saya berkemungkinan akan mampu mengatasi kejenuhan saya. Ketika jenuh, frater mengatakan bahwa kita harus mempertanyakan kenapa ada kejenuhan itu, mengapa ia jenuh melakukan itu, mengapa ia melakukan itu, apa arti perlakuan itu. Dan ketika ia tak menemukan jawabannya ia akan pergi untuk lari-lari di kebun kopi. Hal ini lah mungkin jawaban selama ini yang saya cari, bagaimana mengatasi kejenuhan? Selama ini saya hanya lari dari kejenuhan itu, bukan mencari mengapa dan bagaimana gaya hidup yang membuat saya tidak jenuh. Saya hanya terjatuh dalam lumpur kejenuhan dan hanya bisa diam, menangis dan tidak melakukan apa-apa. Kadang tangisan itu dikarenakan saya merasa tak ada yang spesial, smua begitu-begitu saja, saya bosan, saya ingin keluar dari rutinitas ini. Titik jenuh menurut saya kini merupakan titik dimana saya harus diam sejenak dan memperbaharui beberapa hal, memperbaharui tenaga saya, memperbaharui pemahman saya, memperbaharui iman saya dan memperbaharui iman saya. sehingga saya mampu melangkah lagi ya walaupun tidak sama baru dengan semangat awal saya datang ke Jogjakarta.
Simplicity yang sesungguhnya saya lihat dari kehidupan para rahib di rawaseneng ini. Pemilihan tempat yang berada di dataran tinggi menurut saya adalah pemilihan tempat yang sangat baik menurut saya. Hal ini dikarenakan bukan semata-mata karena ingin mendapat keheningan ( ditempat ramai kita juga bisa hening  ) namun saya melihat ini juga ada pertimbangan ekologis. Di tempat tinggi mereka tidak butuh pendingin ruangan, hanya butuh beberapa kipas yang dinyalakan ketika siang. Tanah yang mereka kelola juga ditanami tubuhan dengan baik, salah satunya kopi. Setidaknya ada pupuk alami yang mereka gunakan yaitu pupuk kandang dari kotoran sapi.  kesederhanaan hidup yang saya lihat dari makanan yang saya makan selama di rawaseneng, satu jenis sayur dan satu jenis lauk, tidak ada pilihan lain dan tidak ada alasan berlebih. Simpilcity yang menjadi gaya hidup mereka sebagai rahib memang memiliki tujuan. Makan makanan sehat seperti yang dikatakan Rm. Abbas agar panjang umur, pendek umur di dukung oleh makan makanan yang tidak jelas. alat-alat yang ada juga dipakai sesuai dengan porsinya, mematikan microphone ketika berdiri dan menyaalakan lagi ketika duduk. Hal ini membuat saya terkadang berpikir apakah saya mampu melakukan ini. Saya mampu menghabiskan lebih dari 8 jam untuk On Line.
Selain itu, kontemplatif aktif bukan hanya di hidupi oleh para rahib dan suster namun juga para tamu yang datang. Hal ini terlihat ketika makan, tamu mencuci piring sendir dan menata kembali. Hal ini saya memang rasakan bahwa dalam berkontemplasi bukan harus diam duduk dan mengunci kamar. namun kontemplasi itu juga beraksi, melakukan sesuatu. Saya juga mendapat tambahan dari kelas spirit tanggal 1 Mei 2012  dikatakan bahwa kontemplasi adalah bermula dari hal-hal yang sering kita lihat rasakan atau lakukan maupun yang pertama kali dirasakan, dilihat dan dikejar. Lalu mampu melihat arti dari mengalaman itu dan masuk kedalam pengalaman itu sendiri. Dari pengalaman pertama sejak semester satu, ketika ada acara sejenis misalnya retreat, tidak pernah mencuci piring sendiri, namun ini mau dilihat mampu dan mau kah kita berkontemplasi dalam hidup sehari-hari.Bahkan bukan hanya kegiatan sehari-hari namun pengalaman-pengalaman kita yang sederhana kita juga dpat berkontemplasi daripadanya.
Pergi berdoa ke pertapaan membuat saya sungguh terkagum-kagum tanpa dapat mengekspresikan. Hal ini ketika mempelajari tentang petapa senobit dan eremit, seakan-akan saya hanya melihat sejarah dan kisah mereka selayaknya dongeng. Dengan pertanyaan yang melintas dalam pikiran saya “apakah ada orang-orang yang mampu melakukannya? jangankan mampu, untuk “mau” saja saya tidak akan pernah”. Namun dengan mengikuti gaya hidup mereka (setidaknya 3 kali jadwal berdoa mereka), saya merasakan bahwa hidup mereka tergantung kepada berdoa. Berdoa adalah makanan dan minuman mereka, makanan adalah nafas mereka para pertapa.
Ketika di kamar, saya diperhadapkan pertanyaan seorang teman yang mengatakan “gaji mereka dari mana?”. Saya yang dahulu hidup di asrama katolik yang berdekatan dengan susteran pernah tahu bahwa para suster yang mengajar di sekolah, kerja di rumah sakit itu hanya di berikan uang saku Rp. 50.000  perbulan dan itu bukan gaji, karena mereka tidak di gaji. Ya kemungkinan teman saya sedikit terkejut dengan jawaban ini, namun saya mulai dapat menjawab pertanyaan ini, bahwa para pertapa hidup bukan karena gaji semata tetapi karena doa yang terus-menerus mereka ucapkan.
Mengalami pengalaman doa yang sedemikian rupa membuat saya merasa bahwa  pola hidup yang seperti ini cukup membosankan. Membosankan ketika saya harus hidup dengan rutinitas yang sama sepanjang hidup saya. Walaupun ada pekerjaan yang harus saya kerjakan namun saya akan bosan dengan itu rutinitas yang sedemikian rupa. Dengan karakter saya yang memang harus bekerja dengan orang lain dan dengan dunia luar, saya tidak akan dapat melaksanakan rutinitas seperti seorang rahib.  Namun saya butuh saat-saat dimana saya menarik diri untuk menjalankan rutinitas sedemikian dalam beberapa waktu. Hal ini untuk mengheningkan diri dan lebih dekat lagi dengan alam dan TUHAN.
Kemanapun saya pergi dan dimana pun saya berada, keheningan akan melingkupi kehidupan manusia. Hal ini saya ketahui ketika mengikuti P2SM, dimana semua agama memiliki konsep keheningannya masing-masing. Dimana keheningan menjadi sarana untuk kita mampu lebih mendekatkan diri dengan Tuhan. Hening bukanlah tujuan, namun hanya siebatas sarana. Di pertapaan, para rahib sudah terbiasa hening. Sampai-sampai ketika hendak kepeternakan, disarankan untuk tidak terlalu ribut karena akan mengganggu sapi-sapi. Hal ini memperlihatkan bahwa sapi juga pribadi yang memiliki keheningannya sendiri sehingga berproduksi lebih baik daripada berada dalam ketidakheningan.
Dari bangunan Kapel saya tidak bisa melihat sesuatu yang mengandung hal-hal yang bisa saya katakan sebagai cerminan petapa. Hal ini karena dalam bayangan saya pertapa memang dicerminkan dari kehidupan yang sangat-sangat sederhana. Kapel yang lebih tepat disebut sebagai gereja. bangunannya cukup luas dan cukup memadai untuk menjadi gereja. namun selama saya disana saya tidak tahu apakah semua kapel para pertapa memang seperti gereja. saya memang masih dipengaruhi keadaan susteran di sekolah saya dahulu, dimana kapel hanya khusus untuk suster-suter berdoa dan itu hanya seperti ruangan namun sedikit luas dan sangat sederhana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar