Jumat, 10 Desember 2010

Paper pendekatan Pendidikan Kristiani yang kontekstual

Pendahuluan
Dalam proses Pendidikan Kristiani memiliki pendekatan-pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan instrukional, pertumbuhan spiritual, komunitas iman dan transformasi. Dimana dalam proses pendidikan beberapa gereja memakai keempat pendekatan ini namun ada juga beberapa gereja yang tidak dapat menerapkan keempatnya.
Dalam paper ini, saya akan mencoba menguraikan empat pendekatan tersebut dan menilai serta merelevansikannya dalam kehidupan gereja. Tidak hanya sekedar itu, saya juga akan mencoba memberikan pendekatan yang cocok melihat konteks dan latar belakang gereja yang menjadi tempat saya mengamati, dan memberikan saran dalam pelaksanaan dan penerapan pendekatan tersebut.
I. Konteks Kehidupan GBKP Sei Tapung
Gereja Batak Karo Protestan(GBKP) Jemaat Sei Tapung merupakan jemaat yang merupakan bagian dari GBKP klasis Riau-Sumbar yang terletak di Provinsi Riau Kabupaten Rokan Hulu Kecamatan Ujung batu. GBKP Sei Tapung merupakan bagian dari runggun Ujung Batu-Maranatha Kabun. Runggun merupakan bagian yang lebih kecil dari Klasis yang terdiri dari 5 gereja di daerah berbeda yang disebut perpulungen. Runggun Ujung Batu-Matranatha Kabun terdiri dari 5 perpulungen yaitu GBKP perpulungen Sei Intan, GBKP perpulungen Ujung Batu, GBKP perpulungen Koto Kampar, GBKP perpulungen Maranatha Kabun dan GBKP perpulungen Sei Tapung. Runggun ini hanya memiliki satu orang pendeta, sedangkan jarak antara satu perpulungen dengan yang lain cukup jauh.
GBKP Jemaat Sei Tapung berdiri di tengah-tengah kebun kelapa sawit milik PTPN V yang dimana masyarakat nya mayoritas beragama Islam. Walau hidup berdampingan dengan masyarakat muslim, namun jemaat hampir tidak pernah memiliki masalah. Hal ini mungkin juga di pengaruhi dari pekerjaan mereka yang sama, yaitu sebagai karyawan PTPN V. Pekerjaan mempengaruhi kerukunan karena menurut saya mereka memiliki tujuan yang sama berada di perkebunan ini. Kehidupan jemaat yang berdekatan karena faktor tempat tinggal yang berupa perumahan milik PTPN V, membuat jemaat mengenal dekat satu dengan yang lainnya. Bukan hanya faktor rumah yang berdekatan namun juga lamanya tinggal di Sei Tapung yang dimana sebagian besar jemaat sudah tinggal lebih dari lima tahun. Contohnya saja salah seorang jemaat bernama Rinaldi Sembiring, yang tinggal sudah hampir dua puluh tahun.
Sebagai jemaat GBKP Sei Tapung merupakan gereja dengan profil homogen dalam dimensi sosio-kultural. Homogenitas yang pertama adalah budaya, karena GBKP merupakan gereja kesukuan dapat dikatakan jemaat bersuku karo. Homogenitas juga terlihat dari pekerjaan yang dimana merupakan karyawan. Walau memiliki profil jemaat yang homogen namun kompleksitas masalah yang dihadapi, dimulai dari masalah dalam keluarga , masalah sesama jemaat dan juga pekerjaan.
Saat ini jemaat mengalami kendala dalam pekerjaan yang sanga mempengaruhi keadaan gereja. Saat ini PTPN V memiliki manager yang sangat disiplin dalah hal waktu. Waktu bekerja yang tepat dan juga kehadiran sangat diperhatikan oleh manager. Pengaruh pada gereja adalah ketika hari minggu jemaat berkurang sangat banyak karena harus bekerja, selain itu dalam kehadiran jemaat pada PA yang diadakan juga berkurang. Bukan hanya hal itu namun juga pengaturan majelis juga sedikit sulit karena jadwal yang hampir sama pada majelis dalam pekerjaannya.
II. Konteks Internal Pendidikan Kristian Di GBKP Sei Tapung
Dilihat melalui konteks pendidikan kristiani di GBKP Sei Tapung cukup memperihatinkan. Hal ini memiliki faktor yang cukup kompleks. Yang pertama jemaat kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pendidikan kristiani dalam pertumbuhan jemaat. Selain itu, sumber daya yang minim di jemaat juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pendidikan kristiani yang kurang baik. Di Sei Tapung banyak pemuda-pemudi yang melanjutkan pendidikan keluar sehingga untuk pendidikan kristiani pada anak yang umumnya ditangani pemuda-pemudi menjadi seperti tidak terurus dan tidak terlalu mendapat perhatian khusus.
Saat ini terdapat empat guru sekolah minggu yang terdiri dari dua anak remaja dan dua merupakan ibu rumah tangga, namun keempat guru sekolah minggu juga tidak pernah diberikan pembinaan sebagai guru sekolah minggu. Menurut hasil wawancara dengan majelis GBKP Sei Tapung, hal itu disebabkan oleh wilayah yang cukup luas namun pendeta yang ada hanya satu. Menurut majelis dalam program klasis telah terprogram pembinaan namun pelaksanaan di Ruggun Ujung Batu – Maranatha Kabun belum terlaksana karena faktor-faktor yang tidak disebutkan oleh majelis.
Terdapat perhatian terhadap pendidikan kristiani dalam hal sekola minggu yaitu diperhatikan oleh komisi anak yang ditangani oleh seorang diaken. Dalam sekolah minggu kurikulum yang dipakai adalah buku bahan pengajaran yang disusun dan dicetak oleh sinode GBKP.
Pembahasan
• Religious instruction(pendekatan instruksi)
Konsep atau pemikiran tentang “instruksi” didapat dari pemikiran pendidikan formal yang memiliki meja, kursi, papan tulis, kapur tulis dan hal-hal umum lainnya yang biasa terdapat didalam kelas yang formal di sekolah-sekolah. Selain suasana kelas formal, juga terdapat konsep pemikiran dimana terdapat batasan-batasan antara guru dan murid dimana guru bertugas mengajar dan murid mendengarkan dan mengerti yang diajarkan oleh guru. Karena memilikikonsep pendidikan seperti pendidikan formal atau seperti pendidikan di sekolahan, maka dapat di perkirakan akan terdapat kelas-kelas tertentu.
Namun dalam Pendidikan Kristiani terdapat transformasi tentang konsep “instruksi” yang telah ada dan telah terbentuk. Dalam pendekatan “instruksi” diharapkan terdapat Homemaking sebagai cara alternatif. Dalam pendekatan ini, homemaking diharapkan dapat menyamarkan batasan yang sangat terlihat antara guru dan naradidik. Homemaking dapat membangun sebuah komunitas belajar dimana guru dan murid saling belajar lewat berbagi. Homemaking juga berbeda penerapannya satu dengan yang lain. Ada beberapa yang menerapkan didalam relasi yang sangat akrab ada juga penerapan didalam suasana tempat. Seymour mengatakan dalam pengalamannya ia pernah melihat sebuah kelas yang diisi oleh sebuah group yang menaruh berbagai ornamen dikelasnya sehingga mereka dapat merasa seperti hidup dan berada dirumah sendiri.
Tujuan dari pendekatan ini secara padat dikatakan Seymour pada bukunya pada halaman 21 yaitu memampukan naradidik mendasarkan diri pada iman yang alkitabiah dan menghubungkan isi iman dan alkitabiah. Dalam hal ini iman kristen dan kehidupan nyata harus berpadu seimbang sehingga kita tidak hanya mementingkan iman kristen ataupun kepercayaan kepada Tuhan saja namun juga kehidupan kita sehari-hari. Dalam sekolah minggu pendekatan ini sering dipakai, sehingga terdapat konsep yaitu

Sehingga dalam hal ini pendekatan instruksional dan pendidikan kristiani memiliki tiga tujuan yaitu yang pertama memampukan naradidik mendasarkan diri pada iman alkitabiah. Yang kedua adalah memfokuskan pada suasana mengajar dan belajar. Berfokus pada metode belajar mengajar yang disesuaikan dengan konten yang diajar.
Guru adalah seseorang yang sangat berperan dalam pendekatan ini. Pendidik atau sering disebut guru merupakan orang yang banyak ambil andil dalam pendekatan ini karena kontribusinya dalam proses pembelajaran, dan guru juga menghargai setiap proses dalam proses pembelajaran itu. Sehingga dalam mengharagai guru juga memperhatikan sehingga dapat menilai hal yang baik dan kurang baik dalam proses itu lalu dapat memperbaikinya yang dapat di terapkan kepada pendidikan yang selanjutnya. selain itu, dalam setiap prosesnya guru harus merasa bahwa setiap proses itu penting. Dalam hal memberikan instruksi, pendekatan ini menuntut agar di dalam proses guru membuat atau menerapkan konsep homemaking yang dipakai dalam pendekatan ini. Sehingga dalam perhatian yang ditaruh guru, guru dapat mempertimbangkan dan menilai apakah pendekatan ini baik atau tidak.
Murid dalam pendekatan ini bertanggung jawab penuh dalam prosesnya. Karena ketika guru melakukan tugasnya tetapi naradidik tidak mengambil dan melaksanakan perannya berarti ia tidak berproses saat itu juga. Dalam proses tersebut diharapkan naradidik dapat berefleksi teologis yang terjadi didalam mengetahui, mengintepretasi, mengidupi dan melakukan imannya secara pribadi. Namun didalam prosesnya, seperti kelas formal naradidik tidak berproses dan dididik sendiri namun beberapa sesuai pembagiannya yang disebut komunitas belajar. Didalam komunitas belajar di harapkan timbul suasana saling menghargai setiap proses dan suasana belajar, suasana harapan untuk tumbuh dan bertanggung jawab, saling belajar baik guru maupun murid, dan proses dalam suasana yang bersifat eksperiensial(pengalaman). Implikasinya dalam pelayanan adalam untuk menyiapkan naradidik agar beriman dan dapat hidup secara bertanggung jawab dan menghadapi dunia. Naradidik juga disiapkan untuk menghadapi kehidupan di dunia dengan mengacu pada iman yang dimilikinya .
• Pendekatan Perkembangan Spiritual
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu orang-orang agar dapat meningkatkan kehidupan pribadinya dan dapat memberikan respon dengan memberikan tindakan keluar terhadap orang lain dan kepada dunia. Dalam hal ini diharapkan naradidik dapat belajar mengenali dirina terlebih dahulu lalu dapat bertindak dengan menentukan tindakan sesuai kepercayaannya dari pengenalan diri yang ia lakukan. Dalam pendekatan ini, guru berperan hanya sebagai penunjuk kepada nara didik. Dengan petunjuk-petunjuk itu-lah diharapkan nara didik berkembang secara pribadi sesuai dengan keinginan dan prosesnya maing-masing sehingga diharapkan dapat memberikan tindakan keluar sesuai pemahaman pribadi yang dialaminya.
Dalam Pendidikan Kristiani pendekatan-pendekatan merupakan proses, dan diharapkan naradidiklah yang berada dalam proses perjalanan itu. Yang menentukan berhasil tidaknya pendekatan ini tergantung pada naradidik. Keberhasilan pendekatan ini terjadi apabila naradidik mengikuti petunjuk dari guru. Menurut Seymour proses pembelajaran dapat dilakukan dengan hening(meditasi), mendengarkan, istirahat, belajar dan melayani. Dalam proses ini terlihat pendekatan ini mengajak nara didik bertumbuh dan berkembang berdasarkan imannya sendiri.
Pendekatan ini mengutamakan pengalaman-pengalaman pribadi naradidik, hal ini menyebabkan perkembangan anak yang satu dengan anak yang lain berbeda-beda. Namun pengalaman yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan adalah pengalamaman yang di refleksikan.
Wujud nyata atau implikasi pendekatan ini dalam pelayanan adalah berusaha untuk menghubungkan naradidik dengan kehidupan ini secara mendalam didalam membangun relasi persahabatan, hubungan, keadilan dan kepedulian. Dalammembangun hubungan, pendekatan ini bertujuan agar naradidik belajar dari pengalaman yang dialami, sehingga dapat membangun hubungan-hubungan dengan lebih baik.
a) Adapun tokoh-tokoh yang ikut medukung pendekatan ini dengan mengemukakan teori-teori mereka, adalah :
1. Jean Piaget, yang mengemukakan teori perkembangan kognitif manusia. Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap yaitu tahap sensomotor, tahap praoperasi, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal . Tahap ini hanya menunjukkan tahap perkembangan kognitif saja tanpa memperhatikan unsur lain yang juga berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tahap perkembangan kognitif manusia maksudnya adalah tahap perkembangan otak seseorang dan kedewasaan seseorang diukur melalui bagaimana dia dapat berpikir secara nalar. Urutan yang ada dalam perkembangan kognitif ialah,
Sensori Motor 0-2 tahun
Praoperasi 2-7 tahun
Operasi konkret 8-11 tahun
Operasi formal 11 tahun keatas
Urutan tahap diatas tidak dapat ditukar, karena tiap tahap saling berkaitan yaitu tahap sesudahnya menentukan tahap sebelumnya, dan tahap tidak mungkin berulang atau mundur.
2. L. Kohlberg, yang mengemukakan teori perkembangan moral. Kohlberg meneliti perkembangan moral manusia dalam rangka melakukan pendekatan pertumbuhan iman. Kohlberg membagi tahap perkembangan moral seseorang menjadi tiga tahap yaitu :
a. Tahap Pra-Konvensional, pada tahap ini anak peka terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan mengenai baik buruk . Pada tahap ini anak lebih memandang baik buruknya sesuatu dari segi fisiknya saja dan kadang mereka menganggap sesuatu baik jika memuaskan mereka atau orang lain.
b. Tahap Konvensional, adalah tahap ketika seseorang sudah bisa menghargai hukum, tetapi mereka menghargai hukum dikarenakan mereka takut pada hukum itu atau karena ingin dianggap sebagai “anak manis” .
c. Tahap Post-Konvensional, adalah pada tahap ini seseorang sudah mencapai
puncak dari perkembangan moral manusia. Pada tahap ini seseorang melakukan suatu kebaikan bukan karena takut akan hukum melainkan karena kesadaran mereka untuk melakukan kebaikan . Pada tahap ini juga seolah-olah tidak lagi diperlukan adanya hukum yang mengatur kehidupan manusia karena pada tahap ini seseorang sudah mengakui persamaan derajat diantara sesama manusia. Jadi manusia tidak akan melakukan kejahatan kepada sesamanya.
3. Erik Erikson, yang mengemukakan teori psikososial. Yang dimaksudkan teori psikososial yakni menyelidiki hakiakat manusia . Erikson mengatakan bahwa perkembangan iman seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat seseorang itu bertumbuh dan berkembang.
4. Fowler, yang mengemukakan teori perkembangan kepercayaan. Pada teorinya ini yang ditekankan oleh Fowler adalah sisi kepercayaan seseorang bukan tentang isi iman orang tersebut . Fowler tidak menekankan isi atau struktur dari isi iman Kristen yang dipelajari tetapi pada kepercayaannya karena kepercayaan adalah unsur yang paling menetukan dibandingkan dengan isi atau struktur dari apa yang mau diajarkan. Jika seseorang terus dilatih untuk hanya percaya pada semua kata-kata guru maka selamanya anak ini akan sulit untuk bisa berfikir secara kritis.
• Pendekatan Komunitas Iman
pendekatan ini sangat menitik beratkan pada komunitasnya. Dimana tujuan dari pendekatan ini agar naradidik dapat membentuk dan memilih komunitas yang akan ia ikuti dalam membangun perkembangan imannya. Karena titik berat pendekatan ini merupakan komunitas itu sendiri sehingga membuat suatu komunitas iman yang dapat membangun iman setiap anggota dalam komunitas tersebut dan mampu memberikan tindakan keluar.
Awalnya yang melatar belakangi pendekatan ini adalah dimana kodrat manusia sebagai makhluk sosial, sehingga latar belakang ini adalah kebutuhan akan komunitas. Dalam komunitas kebutuhan akan story telling, sharing/ berbagi pengalaman akan dialami oleh komunitas. komunitas sebagai tujuan pendidikan kristiani berarti tiga hal; sebuah nilai ideal berdasarkan norma, refleksi dan dukungan, proses yang dialektis.
Komunitas iman berbeda dengan kata kumpulan orang-orang yang hanya mempunyai peran masing-masing. Komunitas iman harus memiliki kata kunci “saling” dan “aksi”. Jadi berbeda dengan pendekatan instruksional yang memiliki konsep relevansi satu arah namun disini memiliki relevansi yang dua arah.
Komunitas iman terkadang juga diartikan sebagai kelompok yang mengadakan ibadah dan sharing, padahal didalamnya tidak ada unsur aksi yang dilakukan oleh komunitas.



Dalam komunitas semua berproses dan berkembang. Naradidik merupakan orang-orang yang terdapat didalam komunitas iman.
Ada tiga hal yang menjadi inti dalam metode pendekatan pelayanan, refleksi dan komunitas atau persekutuan. Pelayanan merupakan aksi untuk membangun kehidupan komunitas untuk menjadikan perubahan transformasi. Refleksi adalah interpretasi dari kata dewa di kehadiran dan artikulasi identitas kita sebagai orang Kristen. Dan komunitas atau persekutuan adalah penciptaan dan pemeliharaan obligasi dalam komunitas gereja tertentu, dan di antara komunitas-komunitas lain. pelayanan adalah ekspresi dari aksi atau membuat perbedaan. Sebagai aksi(tangan) berhubungan dengan refleksi(kepala) dan komunitas atau persekutuan(heart)
Disini guru hanya memfasilitasi dan menjadi pengarah saja didalam kelompok-kelompok kecil komunitas iman. Implikasi pedekatan ini terhadap pelayanan adalah untuk membantu kelompok kecil atau gereja untuk bisa menambah komunitas-komunitas dalam gereja. Dengan adanya suatu komunitas dalam gereja maka akan mempermudah gereja untuk bisa menjamah seluruh warga jemaatnya. Selain itu dengan kelompok yang lebih kecil biasanya orang lebih mudah untuk bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya sehingga gereja lebih mengerti masalah yang dihadapi oleh jemaatnya dan gereja bisa menyelesaikan masalah tersebut.
• Pendekatan Transformasi
pendekatan transformasi dan komunitas iman memiliki hubungan dalam hal kemiripan teori, dimana keduanya memakai teori pembebasan.
Mendahulukan orang-orang yang miskin dalam pemenuhan printah ALLAH dalam mengasihi ALLAH dan sesama. Tujuan dari pendekatan ini adalah memunculan atau perubahan manusia perlahan dalam terang pemerintahan Tuhan. Namun perubahan ini berpengaruh terhadap perubahan sosial . Disini batas antara guru dan murid sama, karena didalamnya keduanya sama-sama belajar dalam mengembangkan dan menumbuhkan imannya. Murid dan Guru menjadi mitra, guru bertugas membantu nara didik dalam melihat realita yang buruk yang pada awalnya berencana untuk diubah.Guru sebagai sponsor juga mitra yang sama dalam perjalanan hidup dan iman. Guru dan naradidik sama-sama belajar dari refleksi lewat apa yang telah mereka lakukan. Naradidik adalah makhluk komunal terpanggil untuk hubungan yang benar dan penuh kasih dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan penciptaan.
Dalam prosesnya terdapat tiga pertumbuhan pada naradidik; 1) Tumbuh dalam visi Allah yang hidup, dimana guru dan nara didik memakai mata Allah dalam melihat realita yang ada. Dimana setiap orang memiliki panggilan dari Allah untuk mengasihi Allah, sesama dan alam semesta.2)Bertumbuh dalam nilai-nilai Kristus, dimana kita hidup terfokus pada pelayanan kepada Allah, mencintai sesama, dan juga tidak ketinggalan alam semesta. 3) Bertumbuh dalam panggilan Allah, baik sebagai guru maupun sebagai naradidik.
Dalam proses pertumbuhan, terdapat tiga gerakan penting dimana seorang naradidik harus melihat, menilai dan menentukan lalu beraksi. Dalam konteks gereja yang berbelarasa dan pelayanan-pelayanannya di dalam dan bersama dunia. Sehingga implikasi pendekatan ini untuk pelayanan adalah untuk mendukung panggilan gereja untuk menjadi cara alternatif dalam melihat kehidupan, berada dan hidup.
Gereja dan Pembahasan
Melihat konteks gereja yang homogen , menurut penulis ada dua pendekatan yang cocok di terapkan di GBKP Sei Tapung yaitu pendekatan perkembembangan spiritual dan pendekatan komunitas iman. Hal ini dikarenakan penulis melihat konteks gereja yang homogen namun didalamnya terdapat masalah yang sangat kompleks. Melalui pendekatan perkembangan spiritual, secara individu gereja dapat mengamati lebih intensif jemaatnya. Misalnya dalam bidang spiritual, ekonomi maupun sosial seara lebih mendalam, hal itu sebagai tindakan atas pencegahan atas timbulnya masalah dari berbagai bidang. Menurut penulis pendekatan komunitas iman dalam gereja yang homogen baik pekerjaan maupun budaya, akan lebih dapat terlaksana mengingat adanya latarbelakang dan kebudayaan yang sama sehingga kata “saling” dapat di terapkan. Apabila spiritual individu dan spiritual komunitas telah terbangun, akan mempermudah terjadinya “aksi” yang merupakan bagian dari pendekatan komunitas iman.

Saran Terhadap Pendekatan
Dengan melihat gereja dan pendekatan yang cocok diterapkan, penulis yang sebagai mahasiswa yang mngambil matakuliah Pendidikan Kristiani, memberikan beberapa saran dalam penerapan pendekatan. Pendekatan perkembangan spiritualitas sebenarnya memiliki kendala dalam hal tenaga pendeta yang kurang, dimana dalam wilayah yang luas hanya terdapat seorang pendeta saja. Namun penulis tidak memberikan saran dalam berupa kritikan. Meskipun kegiatan dan kesibukan sebagai seorang pendeta dan majelis sangatlah banyak, namun penulis menyarankan agar pendeta dan majelis membuat sebuah roster atau jadwal secara pasti dalam program Perkunjungan Rumah Tangga(PRT) dimana mengingat bahwa PRT hanya dilakukan ketika ada sesuatu yang di kategorikan sebagai masalah. Namun penulis menyarankan dibuat dan dilaksanakan jadwal PRT sebagai pencegahan timbulnya masalah, atau setidaknya dapat langsung mengidentifikasi masalah tersebut lebih awal sebelum lebih rumit lagi.
Dalam pendekatan komunitas iman, penulis melihat bahwa kata “saling” yang merupakan dasar pembentukan komunitas iman itu sendiri. Aksi merupakan kegiatan akhir sebelum jemaat melakukan refleksi, namun aksi keluar tidak akan terlaksana apabila “saling” tidak terlaksana terlebih dahulu. Pengaruh pendekatan instruksional sangat mempengaruhi jemaat sehingga membuat jemaat bergantung pada pendeta. Namun komunitas iman bukan hanya pendeta yang berperan namun juga jemaat. Kata “saling” menuntut jemaat untuk lebih dan lebih lagi berpartisipasi dalam membangun spiritualitas komunitas. Contoh nyatanya adalah ketika terjadi persekutuan didalam komunitas, seharusnya jemaat benar-benar berpartisipasi dalam sharing atau berbagi pengalaman sehingga “saling” dapat menjadi saling peduli, saling mengerti, saling mendoakan, saling mengasihi, saling menegur, saling membantu, dan saling-saling yang lainnya yang dapat membangun spiritual komunitas.
Daftar Pustaka
Seymour, Jack L. Mapping Christian Education. Nashville: Abingdon Press,1997
Cremers, Agus.Tahap-tahap perkembangan kepercayaan menurut James W.fowler. Jogjakarta : Kanisius,1995
Suparno, Paul. Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius,2001
Thearona, Frebin.Laporan pengamatan jemaat.2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar