Rabu, 15 Desember 2010

MENGUBAH BAHAN PA TRADISIONAL MENJADI BAHAN PA SESUAI SCP Shared Christian Praxis

Shared Christian Praxis(SCP) adalah Suatu pedagogi yang partisipatif dan dialogis di mana orang-orang berefleksi secara kritis terhadap pengalaman hidup mereka sendiri pada suatu waktu dan tempat dan terhadap realitas sosiokultural mereka. Sharing Christian Faith juga mempunyai akses bersama ke dalam Cerita/Visi Kristen, dan secara pribadi mengambil maknanya dalam komunitas dengan tujuan kreatif untuk memperbarui praksis iman Kristen menuju pemerintahan Allah bagi seluruh ciptaan.
Dalam Pendidikan Kristiani, tujuan SCP adalah sepenuhnya untuk pemerintahan Allah. Dalam prosesnya tujuan SCP juga adalah untuk pertumbuhan iman peserta dan pendidik didalam pengetahuan, relasi dan dalam tidakan atau perbuatan sehari-hari.
SCP memiliki lima tahap dalam perencanaan atau persiapan dan dalam pelaksanaannya. Lima gerakan tersebut adalah
a. G1 Ekspresi/cerita praksis masa kini
b. G2 Refleksi kritis aksi masa kini
c. G3 Jalan masuk kepada Cerita dan Visi Kristen
d. G4 Hermeneutik dialektis untuk mengambil makna Cerita dan Visi Kristen bagi cerita-cerita dan visi-visi peserta
e. G5 Keputusan/respon untuk hidup sesuai iman Kristen

Mengubah Bahan PA Tradisional Menjadi SCP
Peserta dalam praktek metode SCP adalah kelompok komunitas iman para ibu-ibu yang terdapat di Gereja Batak Karo Protestan(GBKP) klasis Riau-Sumbar. Peserta memiliki latar belakang keluarga yang merantau dari kampung halaman dan berada ditengah budaya dan agama yang berbeda-beda namun sumber pencaharian yang sama yaitu pekerja di pabrik kelapa sawit. Penulis berharap, dengan peserta yang demikian memiliki pengalaman yang berbeda dan cara pandang yang berbeda-beda dilihat dari tempat dan pekerjaan yang sama. Dalam PA biasanya jumlah peserta 10-15 orang.
Aktivitas Terfokus
Aktifitas terfokus adalah sebuah aktifitas yang bertujuan memfokuskan aktifitas-aktifitas atau gerakan-gerakan berikutnya. Memfokuskan gerakan-gerakan yang dimaksud adalah dengan menentukan tema generatif. Tema generatif dapat mengandung isu historis berupa pertanyaan, nilai, kepercayaan, konsep, peristiwa, situasi dan hal-hal lain yang membuat peserta terlibat aktif karena isu itu penting dan berarti. Tema generatif selain memfokuskan gerakan-gerakan yang akan dilaksanakan juga bertujuan agar peserta diarahkan ke praxis masa kini dalam ruang dan waktu beberapa aspek dari kehidupan mereka di dunia dan sesuai dengan kenyataan hidup mereka .
Penentuan Tema Generatif
Dalam penentuan tema generatif ada beberapa hal yang harus dapat diperhatikan yaitu tema harus benar-benar generatif, jelas, spesifik, menarik, dapat diselesaikan , relevan, pengalaman pribadi dan lingkungan , dan untuk pemerintahan Allah. Dalam praktek SCP yang di lakukan dalam komunitas iman, sebaiknya penentuan tema generatif di tentuka oleh pemimpin dan apabila memakai cara bertanya kepada peserta maka sebaiknya ditentukan pada seminggu sebelumnya.
Pada pengubahan bahan yang tradisional menjadi SCP, terjadi perubahan tema yang dipertimbangkan memakai sudut pandang SCP.
Tema awal yang di tawarkan “Salam dan Syukur” yang terdapat dalam bahan bacaan 1 Korintus 1:1 menjadi “Salamkah atau syukurkah yang penting dan mendatangkan berkat?”
Latar Belakang Tema
Latar belakang pemilihan tema ini melihat saat ini interaksi jemaat yang terjalin bukan hanya dengan sesama umat yang beragama sama tetapi juga dengan orang yang berbeda agama. Interaksi yang terjalin bukan hanya secara tidak langsung yaitu hidup dalam lingkup daerah yang sama namun juga secara langsung bertegur sapa. Selain itu juga tema ini dilatar belakangi bagaimana interaksi manusia dengan Tuhan setelah terjalin interaksi yang baik terhadap sesama. Sehingga dari PA ini diharapkan peserta dapat lebih mempraktekkan secara langsung “salam” dan “syukur”yang menjadi dua poin penting dalam tema.
Gerakan 1
First Movement atau yang sering disebut dengan gerakan 1 (G1) merupakan aktifitas pertama pada saat PA. Dalam gerakan ini berisi tanggapan-tanggapan peserta terhadap tema generatif yang ditetapkan pemimpin ataupun yang ditetapkan bersama. Tanggapan-tanggapan yang dimaksud adalah berupa pengalaman para peserta baik yang pengalaman langsung maupun pengalaman yang tidak langsung. Pengalaman langsung adalah pengalaman pribadi yang benar-benar dialami peserta sendiri atau itu merupakan pengalaman pribadi peserta. Pengalaman tidak langsung merupakan pengalaman peserta secara tidak langsung, baik dari media atau pengalaman yang ia pernah ketahui dari orang lain. Selain langsung dan tidak langsung, pengalaman juga dapat berisikan pengalaman positif dan negatif. Pengalaman positif merupakan pengalaman yang sejalan ataupun sesuai dengan tema generatif, sedangkan pengalaman negatif merupakan pengalaman yang berlawanan dengan tema generatif.
Dalam mempersiapkan PA, selain bahan PA yang perlu disiapkan pemimpin juga adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanggapi oleh peserta berupa pengalaman yang dialami agar terkesan tidak kaku dan mendapat arah yang sesuai dengan tema generatif.
Pertanyaan-Pertanyaan
Sesuai dengan tema “Salamkah atau syukurkah yang penting dan mendatangkan berkat?” pertanyaan yang akan diajukan oleh pemimpin PA
1. Bagaimana cara ibu-ibu sekalian dalam bertegur sapa dengan tetangga atau saudara-saudara yang beragama sama, ketika pertama kali bertemu?
2. Bagaimana cara ibu-ibu sekalian dalam bertegur sapa dengan tetangga atau saudara-saudara yang memiliki agama yang berbeda, ketika pertama kali bertemu?
3. Syukur yang seperti apakah yang selama ini kita mengerti?
4. Syukur dan salam yang seperti apa yang menurut ibu-ibu sekalian yang akan mendatangkan berkat?
5. Apa arti salam dan syukur menurut ibu-ibu sekalian?
Tanggapan Peserta
Dalam persiapannya, pemimpin PA juga harus punya gambaran kira-kira apa tanggapan peserta dan pengalaman seperti apa yang akan diutarakan oleh mereka. hal ini bertujuan agar pemimpin mengetahui bagaimana mengarahkan suasana ketika cerita melebar sehingga tidak terfokus, atau semua peserta diam. gambaran tersebut juga berupa harapan pemimpin akan tanggapan peserta terhadap tema generatif. Tanggapan yang diharapkan adalah;
1. Terdapat peserta yang becerita tentang pengalamannya mengucapkan salam dengan baik dengan tetangga yang beragama lain ketika masuk kedalam rumah tetanggnya. salam yang diucapkan adalah salam dari agama yang dianut oleh tetangganya tersebut. “asalamualaikum warahmatulahi wabbarahkatuh” karena telah menjadi terbiasa dan tetangganya juga tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
2. Terdapat peserta yang bercerita ketika ia bertemu dengan teman yang seagama dan lama tidak bertemu, ia kemudian bersalaman dan menganggap itu merupakan sebuah contoh salam dengan tindakan. Dan peserta menceritakan bahwa dirumahnya ia membudayakan ucapan syaloom, yang menurutnya itu mendatangkan berkat bagi rumah orang kristen dan tanda rumah seorang yang kristen.
3. Terdapat cerita dari peserta tentang ucapan syukur ketika mendapat kesusahan dan kesulitan. didalam ucapan syukur tersebut ia seperti mensyukuri akan proses yang ia dapatkan. Dan dalam ucapan syukur juga terdapat permohonan akan pemberian berkat dari Tuhan.
4. Terdapat juga ibu yang bercerita tentang arti syukur dan salam dalam sudut pandangnya dan sesuai dengan apa yang ia ketahui dari berbagai bahan yang pernah ia baca dan dengar.
Peserta Diam
Dalam proses ber-PA ada kemungkinan kita tidak mendapat tanggapan dari peserta, dengan kata lain peserta diam. Ada beberapa alasan yang membuat peserta tidak mau atau tidak ingin bercerita, yaitu yang pertama takut ceritanya tidak berharga dan tidak bagus, kedua takut untuk mengatakan jujur apabila tanggapan atau cerita tersebut merupakan tanggapan yang negatif, ketiga karena peserta yang memiliki atau menganut budaya diam, yang keempat karena pengalamannya merupakan sesuatu yang menyebabkan trauma sehingga takut untuk menginngat dan membuka luka lama tersebut,.
Oleh karena itu, sebagai pemimpin PA kita harus mempersiapkan cara mengantisipasi kalau-kalau tidak ada peserta yang memberikan tanggapan. Cara mengantisipasinya adalah kita haraus memiliki stock cerita yang berhubungan dengan tema generatif, sehingga didalam PA tidak terjadi suasana diam dan cerita memancing peserta untuk bisa berani berbicara. Namun cerita yang dimaksudkan disini benar benar fakta. Tidak harus pengalaman pribadi, namun dari media dan pengalaman orang lain juga dapat kita ceritakan.
G2
Gerakan 2 merupakan refleksi kritis aksi masa kini yang bertujuan untuk memperdalam kesadaran kritis terhadap praksis masa kini. Dalam gerakan ini juga dapat dimunculkan pertanyaan-pertanyaan dalam mengkritisi pengalaman atau tanggapan dari peserta. Pertanyaan atau tanggapan kritis dari peserta dan pemimpin diharapkan mengandung sudut pandang dari berbagai ilmu. Hal ini bertujuan agar peserta memiliki pengetahuan sehingga selaras dengan tujuan SCP ini. Ilmu yang dimaksud bisa saja berupa ilmu sosial, pendidikan, kesehatan, informatika dan yang lainnya. dengan situasi yang demikian biasanya akan terjadi sesuatu dimana G1 dan G2 berjalan sekaligus. Hal ini yang biasanya membuat peserta memberi tanggapan yang dapat meluas, sehingga inilah tugas pemimpin dalam mengarahkan lagi sehingga tidak terlalu meluas.
Contoh Tanggapan Kritis
1. Sesuai dengan pengalaman peserta pada pengalaman yang pertama, ternyata itu bukan salam biasa namun salam yang mengandung arti tersendiri untuk agama Islam. Assalamu alaikum merupakan salam dalam Bahasa Arab, dan digunakan oleh kultur Muslim. Salam ini adalah Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang dapat merekatkan Ukhuwah Islamiyah umat Muslim di seluruh dunia. Untuk yang mengucapkan salam, hukumnya adalah Sunnah. Sedangkan bagi yang mendengarnya, wajib untuk menjawabnya.
Salam ini juga digunakan oleh kultur Kristen di Timur Tengah yang mempunyai arti kedamaian dan kesejahteraan bagi yang mengucapkan salam dan penerima salam tersebut. Salam ini sama dengan salam shalom aleichem dalam bahasa Ibrani.
Ungkapan Islami ini lebih berbobot dibandingkan dengan ungkapan-ungkapan kasih-sayang yang digunakan oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini dapat dijelaskan dengan alasan-alasan berikut ini.
1. Salam bukan sekedar ungkapan kasih-sayang, tetapi memberikan juga alasan dan logika kasih-sayang yang di wujudkan dalam bentuk doa pengharapan agar anda selamat dari segala macam duka-derita. Tidak seperti kebiasaan orang Arab yang mendoakan untuk tetap hidup, tetapi Salam mendoakan agar hidup dengan penuh kebaikan.
2. Salam mengingatkan kita bahwa kita semua bergantung kepada Allah SWT. Tak satupun makhluk yang bisa mencelakai atau memberikan manfaat kepada siapapun juga tanpa perkenan Allah SWT.
3. Perhatikanlah bahwa ketika seseorang mengatakan kepada anda, "Aku berdoa semoga kamu sejahtera." Maka ia menyatakan dan berjanji bahwa anda aman dari tangan(perlakuan)-nya, lidah(lisan)-nya, dan ia akan menghormati hak hidup, kehormatan, dan harga-diri anda.
2. Ada juga yang mengomentari apabila salam adalah sebuah kata biasa untuk menyapa orang lain ketika bertemu.
3. Tentang syukur ada juga yang mengatakan pernah membaca di buku tentang syukur bahwa Ungkapan syukur dan terima kasih, bila disampaikan dengan tulus, akan meningkatkan kekuatan sebuah hubungan. ia membaca pendapat Nathaniel Lambert, pakar psikologi dalam jurnal Psychological Science.

Tidak Ada Yang Menanggapi Atau Mengkritisi
Melihat faktor-faktor yang membuat peserta diam, dalam G2 juga memiliki kemungkinan peserta akan diam. namun hal ini dapat diatasi dengan cara peserta dilontarkan beberapa pertanyaan yang membuat peserta berfikir sehingga tau akan mengkritisi apa. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dilontarkan oleh pemimpin adalah mengapa anda berpikir,bagaimana jika,apa penyebab dari,apa konsekuensi-konsekuensi dari.
Membentuk pertanyaan
a. Mengapa anda berfikir salam merupakan sebuah ungkapan biasa?
b. Bagaimana jika tetangga marah karena menganggap anda melecehkan agamanya?
c. Bagaimana jika anda tidak mengucap syukur, apakan memiliki akibat tertentu?
d. Apa akibat anda menempel kata syaloom yang mewajibkan tamu masuk harus mengucapkannya? Bagaimana dengan agama lain?

G3
Setelah melakukan sharing atau menceritakan tentang pengalaman yang dialami dan mendiskusikannya, dalam G3 merupakan gerakan dimana pemimpin mengajak membaca alkitab dan pemimpin menafsirkannya. G3 adalah jalan masuk kepada Cerita dan Visi Kristen. Cerita Kristen mencakup kitab suci, tradisi, liturgi, pengakuan iman, dogma, doktrin, teologi, sakramen dan ritual; simbol, mite, gesture, dan pola bahasa religius; spiritualitas, nilai, hukum, dan gaya hidup yang diharapkan; lagu dan musik, tarian dan drama; seni, kerajinan tangan, dan arsitektur; kenangan akan orang-orang kudus, pengudusan waktu dan perayaan masa-masa kudus, apresiasi terhadap tempat-tempat kudus; struktur komunitas dan bentuk pemerintahan gereja dan sebagainya. Visi Kristen adalah pemerintahan Allah yang mengarah pada kedatangan yang sedang berlangsung sebagai pemenuhan atas maksud Allah bagi umat manusia, sejarah, dan seluruh ciptaan; janji keselamatan, pengharapan, kebenaran, kebijaksanaan, prinsip etis, tanggung jawab orang beriman.Dalam penafsiran Alkitab ada beberapa hal yang harus di perhatikan, yang pertama bertanggung jawab dalam penafsiran Alkitab, yang kedua bertujuan pada pemerintahan Allah.
Tafsiran 1 Korintus 1:1-9
1:1-3, Salam. Menurut bentuk surat kuno, pengarang memulai dengan memperkenalkan diri. Paulus mengikui kebiasaan ini, Ia menyebut namanya dan Sostenes sebagai pengirim surat kepada orang Korintus ini. Lukisan Paulus mengenai dirinya singkat. Ia dipanggil oleh kehendak Allah. Ia seorang rasul, seseorang yang diutus. Sebagai utusan, Paulus mewakili yang mengutus dia. Meskipun kewibawaannya diragukan, Paulus dengan keras mempertahankannya. Pauluslah, bukan salah seorang dari kelompok 12 atau saksi mata kehidupan Yesus, yang pertama kali memperkenalkan istilah rasul dan yang mempopulerkannya penggunaannya dikalangan Kristen.
Panggilan Paulus juga suatu perutusan yang bukan panggilan yang melulu batiniah, pribadi, individual. jawabannya dihayati dalam pengabdian aktif kepada Yesus Kristus, yang terhadapNya ia menjadi hamba. penggunaan kata hamba oleh Paulus memberi suatu nada kehormatan pada ungkaan itu yang biasanya tidak dimiliki. Yesus Kristus hampir sinonim dengan injil yang diwartakan. Paulus ditangkap Kristus. Ia menjanjikan komitmen mutlak, total kepada Yesus, yang telah mengubah hidupnya dan sekarang tidak hanya mempengaruhi dirinya dengan kuat, melainkan menjadi titik sejati dari Paulus.
Sostenes, seorang saudara, bergabung dengan Paulus memberi salam kepada Jemaaat di Korintus. Seorang bernama Sostenes digambarkan sebagi seorang kepala Sinagoga di Antiokhia, telah dipukuli dihadapan prokonsul oleh orang0orang yahudi, yang sebelumnya penduduk Paulus dan tidak merasa puas. Tidak jelas kisah apakah orang ini menjadi Kristen atau apakah penghukumannya mempunyai hubungan langsung dengan tuduhan yang ditujukan melawan Paulus. Bagaimana pun, ini adlaah nama biasa, dan Paulus karena tidak memberikan keterangan lebih lanjut, suatu tanda bahwa ia cukup dikenal diantara orang Korintus. Sostenes dari I Korintus 1:1 tentu saja orang Kristen, saudara,karena orang-orang Kristen menjadi saudara satu sama lain, melalui iman, memiliki kebersamaan yang kedalamannya sama dengan ikatan keluarga.
Paulus memberi salam kepada Jemeaat Allah di Korintus. Dengan mengambil gambaran dari perjanjian lama, Paulus sudah mengisyaratkan dalam ayat-ayat pembukaan ini dua gagasan yang akan menjadi inti ajarannya kepada orang Korintus melalui surat yang panjang ini : kesucian mereka berdasar pada panggilan umum dan kesatuan mereka dibawah Tuhan yang sama. Seperti Israel, jemaat adalah umat yang kudus. Disucikan dalam Kristus Yesus, orang Korintus sejajar dengan semua orang di segala tempata yang berseru kepada Tuhan, yaitu semua orang yang dibaptis. Kenyataan bahwa mereka mengakui Tuhan yang sama berarti bahwa orang-orang Kristen dimana-mana saling bergantung satu sama lain.
Secara khusus Paulus mengaharapkan kepada sidang pembaca rahmat dan damai sejahtera. Karunia ini meringkas berkat mesias yang diberikan dalam Kristus. paulus menggabungkan bersama salam yang biasa diantara orang Yunani, charis (yaitu rahmat) dan syalomI ( salam yang digunakan orang Yahudi) yang mencerminkan kesatuan dari semua yang mengaku beriman kepada satu Bapa dan satu Tuhan. Dengan cara positif menyalami jemaat yang sedang dalam kesulitan, Paulus memberikan contoh bagaimana seorang pewarta menantang orang-orang Kristen untuk memiliki warisan mereka yang sah.
1:4-9 Ucapan Syukur. Salam mendorong Paulus untuk mengungkapkan syukur. beberapa bentuk syukur permulaan memperlihatkan jejak dari kebiasaan kuno yang diikuti Paulus. biasanya penulis surat mulai dengan mengungkapkan syukur atas kesehatan atau keejahteraan mereka, dengan menggunakan kesempatan untuk meberikan informasi kepada pembaca mengenai keadaan mereka sekarang. Namun, Paulus mengucap syukur bukan untuk dirinya melainkan demi orang-orang Korintus dan rahmat yang telah mereka terima. Paulus mengakui bahwa orang Korintus telah menjadi kaya dalam segala hal. Akan tetapi surat ini ditulis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dan laporan-laporan yang didengar Paulus, menjadi jelas bahwa karunia-karunia yang mereka terima, terutama karunia “segala macam pengetahuan dan segala macam perkataan”, yang sangat mereka hargai menjadi alasan perpecahan yang merisaukan mereka. Paulus mengingatkan orang Korintus bahwa semua karunia datang dari Tuhan yang sama.
Jemaat bernilai bagi kerasulan Paulus, bukti hidup bahwa injil telah diwartakan dan didengar oleh mereka. Tidak ada karunia yang kurang. Akan tetapi penyalahgunaan karunia oleh orang korintus tidak menandakan sikap yang tepat dari mereka yang menantikan pernyataan Tuhan Yesus kristus. Pada kedatanganNya, orang-orang Korintus akan dipanggil untuk mempertanggungjawabkan bagaimana karunia-karunia telah mengembangkan kasih persaudaraan diantara mereka.
Doa Paulus bersifat ekaristi, yaitu syukur karena berdasarkan atas kepercayaan akan Allah, yang jelas akan menyelesaikan pekerjaan baik yang telah dimulai. Inilah sebabnya mengapa paulus menyampaikan begitu banyak syukur, kendati pandangannya yang realistis mengenai keadaan serius dari problem-problem di Korintus. kesaksian Paulus mengenai kesetiaan Allah telah diterima oleh orang Korintus. Mereka telah mengalami rahmat Injil sebagai janji bahwa Allah tidak akan meninggalakan mereka. Kendati problem-problem mereka, Paulus mengungkapkan kepercayan penuh bahwa mereka akan dikuatkan dan akhirnya akan dinilai menang.
G4
G4 merupakan hermeneutik dialektis untuk mengambil makna Cerita dan Visi Kristen bagi cerita-cerita dan visi-visi peserta. Disini merupakan gerakan dimana mendialogkan pengalaman hidup dan pengalaman konkret yang telah direfleksikan yang diaman proses pendialogkan ini merupakan proses hermeneutik(menafsiran). Melalui dialog antara teks Alkitab dan pengalaman, diharapkan peserta dapat mengambil maknanya, karena ditahap ini juga diharapkan agar Teks Alkitab berguna bagi kehidupan orang-orang zaman sekarang. Namun Teks Alkitab bisa saja menguatkan, mengkritik bahkan mempertanyakan yang membuat adanya kemungkinan akan terjadi terjadi perubahan tradisi gereja, pemahaman terhadap teks dan pembaharuan ajaran.
G4 ini merupakan tahap peralihan/ proses transisi dari “faith” menuju kepada “life”. Dalam G4 ini, harus dikaitkan/diintegrasikan antara pengalaman yang telah diceritakan pada G1 dan G2 dengan bahan Alkitab yang telah dijelaskan pada G3 sehingga menjadi satu kesatuan dimana ayat bukan hanya pengetahuan tetapi juga menjadi satu dengan kehidupan nyata.
Dalam prakteknya G4 merupakan gerakan yang paling sulit. Hal ini dikarenakan budaya bank yang telah tertanam pada peserta, menerima banyak tafsiran dari pemimpin yang dianggap cukup hanya sampai di situ. Namun pada SCP, mendialogkan antara pengalaman dan Teks Alkitab.
Melalui perikop ini peserta diharapkan dapat melihat keadaan Paulus yang dalam setiap situasi mampu mengucap syukur dan salam sebagai pembuka suratnya. Sehingga melalui perikop ini juga diigingatkan kepada peserta bahwa sebenarnya tidak ada alasan untuk kita untuk tidak mengucap syukur. Dan menyadari bahwa salah satu rahasia hidup berbahagia adalah di mana kita dapat melatih diri kita untuk selalu mengucap syukur, karena hal itu akan memberikan kekuatan dalam segala dinamika kehidupan yang kita hadapi. Kita dapat bermegah dalam kondisi apapun yang terjadi karena kita belajar untuk melihat kenyataan yang lebih tinggi di dalam Tuhan.
Salam yang disampaikan Paulus bukan sekedar salam sebagai kata basa-basi namun merupakan kata yang penuh berkat, selain untuk Paulus namun juga untuk jemaat yang menerimanya namun paulus lebih mengutamakan berkat dan rahmat untuk jemaat di Korintus. Dalam hal ini peserta dapat melihat bahwa kita salam juga hal untuk memberikan berkat untuk orang lain dan diri sendiri walaupun berkat diberikan dengan otoritas TUHAN sang pemberi berkat.
G5
Dalam komunitas iman terdapat kata kunci yaitu komunitas yang dimana ciri komunitas adalah kata saling dan tindakan keluar. Gerakan 5 merupakan gerakan dimana terdapat keputusan/respon untuk hidup sesuai iman Kristen. Pada gerakan ini, peserta mengembil keputusan ingin melakukan apa, namun bukan merupakan komitmen yang tanpa dengan aksi yang konkret. Gerakan ini harus dilakukan dengan memiliki perencanaan waktu dan pelaksanaan hingga langkah-langkahnya, sehingga dapat dievaluasi dan direfleksikan dari mulai gerakan awal hingga gerakan ini.
Gerakan ini memiliki tiga dimensi yang dalam pelaksanaannya sebainya diadakan secara seimbang. Tiga dimensi itu ialah personal, interpersonal, sosial-struktural. Personal bukan hanya merupakan sesuatu yang komitmen namun benar-benar hal yang nyata yang ingin dilakukan secara personal dan dapat direfleksikan secara pribadi. Dimensi interpersonal lebih kepada relasi kita terhadap sesama di lingkupan yang kecil, misalnya keluarga, komunitas iman, gereja. Gerakan ini diharapkan dalam pelaksanaan dimensi interpersonal ini dapat memberikan refleksi bersama dan pertumbuhan bersama. Sedangkan sosial-struktural merupakan dimensi yang dapat mengubah pola pikir dan budaya sehari-hari masyarakat(transformasi).
Gerakan ini juga bertujuan agar penerapan tema yang lebih nyata, sehingga firman dan isi tema dapat lebih tersampaikan dan makna yang sesungguhnya dapat diambil dan diartikan oleh peserta secara pribadi. Sesuai dengan tema contoh-contoh kegiatan dalam gerakan ini yaitu:
Personal:
1. Penyadaran diri sendiri bahwa sebenarnya salam dan syukur merupakan hal yang mendatangkan bagi diri dan orang lain. Oleh sebab itu secara pribadi juga menanamkan kebiasaan untuk selalu mengucap salam dan mengucap syukur dalam kehidupan sehari-harinya.
2. Selain salam pada agamanya, juga mampu menghargai salam dan syukur agama yang lain dengan pola pikir bahwa itu juga mendatangkan berkat. Tindakan nyatanya bahwa tidak pernah membuat salam dan syukur agama lain menjadi sebuah lelucon dan omongan yang basa-basi.
Interpersonal
1. Dalam komunitas juga membuat komitmen untuk memulai segala kegiatan dengan salam dan mengucap syukur untuk setiap hal yang boleh terjadi dalam kegiatan tersebut.
2. Membiasakan diri dengan mendidik anggota keluarga juga menjadi orang-orang yang mampu mengucap salam dan mengucap syukur dalam segala hal. Hal ini dapat secara nyata dengan mengadakan saat teduh bersama setiap hari di rumah.
Sosial-Struktural
1. Dalam mengubah budaya masyarakat, Komunitas dapat mengadakan hari salam sedaerahnya yang diawali dengan sosialisasi dengan masyarakat baik pertemuan maupun selebaran.
2. syukur akan dapat dinyatakan ketika bersama masyarakat melakukan kegiatan di untuk lembaga sosial, sehingga lebih menyadari bahwa keadaan mereka lebih baik dan lebih patut disyukuri.


Evaluasi dan Refleksi
Dalam mengevaluasi gerakan dapat dilakukan didalam komunitas dan dapat direfleksikan secara pribadi apa yang komunitas dapatkan. dalam mengevaluasi bukan hanya hal-hal yang secara teknis namun juga hal-hal yang bersifat “rasa” yang dirasakan oleh komunitas dan bagaimana respon masyarakat. Sehingga dari evaluasi kita dapat merumuskan tema generatif yang baru yang dapat berlanjut terus menerus.

SUSUNAN PA METODE SCP
i) Aktifitas Terfokus
penentuan tema generatif dan teks alkitab yang sesuai. Waktu yang diperlukan sesuai dengan waktu yang dibutuhkan.
ii) G1 menyampaikan cerita, share pengalaman pribadi
waktu : 15 menit
iii) G2 mengkritisi pengalaman dengan berbagai sudut pandang
waktu :10 menit
iv) G3 menyampaikan tafsiran teks alkitab
waktu : 10 menit
v) G4 mendialogkan antara teks alkitab dan pengalaman
waktu : 10 menit
vi) G5 melakukan aksi konkret sebagai saluran
waktu berlanjut, sehingga tidak dapat di tentukan
vii) evaluasi dan refleksi
untuk mengevaluasi dapat menentukan waktu tertentu sehingga dapat dilihat perkembangan dan pengaruhnya.

Paper Mengenai Dosa ,Keselamatan dan Pertobatan Sebelum dan Ketika Refomasi

Pendahuluan
Gereja sangat identik dengan doktrin dan dogma-dogma yang ditetapkan dan dianut olehnya. Selain zaman sekarang yang sering dikatakan sebagai zaman yang mendekati “akhir zaman” gereja mau tidak mau juga identik dengan paham keselamatan yang dimengerti oleh gereja. Masalah akhir zaman, merupakan masalah yang berkaitan dengan pertanyaan “masuk surga atau masuk neraka kah kelak kita ketika Allah datang kedua kali?”. Pembahasan tentang pernyataan ini sebenarnya bukan hanya dibahas pada masa-masa sekarang, namun telah ada sejak kekristenan muncul. Dan pengertian tentang keselamatan yang “katanya” akan menuju surga itu, juga telah menyebabkan perpecahan gereja mula-mula yang disebut dengan masa reformasi.
Banyak teolog yang membahas tentang dosa dan keselamatan yang mengkaitkan dengan pertobatan. Dimana pertobatan sangat penting bagi keselamatan bahkan sangat mempengaruhi keselamatan manusia dari api neraka tempat terdapat tangisan dan kertak gigi (Mat 22:13 ; Mat 8:12 ; Mat 25:30 ; Luk 13:28). Sehingga konsep pertobatan itu sendiri bukan hanya dibahas namun dikritik dan diperdebatkan.
Paper ini berisi tentang pandangan gereja pra-reformasi dan reformasi beserta dengan refleksi teologis penulis tentang dosa , keselamatan dan pertobatan dengan melihat dari kenyataan sejarah dan perkembangan yang ada. Dengan Paper ini saya berharap saya pribadi mampu lebih mengerti akan arti dan konsep soteriologi dan berguna untuk orang-orang yang akan membaca paper ini.
Soteriologi
Soteriologi adalah sebuah pengajaran tentang penyelamatan (bahasa Yunani: Sôteria yang berarti keselamatan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keselamatan berarti keadaaan yang selamat; kesejahteraan, kebahagiaan. Soteriologi berhubungan dengan pengkhususan tentang teologi penciptaan yang berhubungan erat dengan ketritunggalan Allah. Dalam sejarah umat manusia, karya penyelamatan itu di lakukan oleh Allah Tritunggal dalam wujud Sabda dan Roh Kudus.
Pada pengkategorian Soteriologi sebagai pemikiran teologi, kata “selamat’ dalam “penyelamatan” mengandung banyak arti. Diantaranya selamat bererti manusia yang tidak berdosa karena dosa yang telah dihapuskan, dan keadaan dimana manusia menyatu dengan Allah karena karya penyelamatan tersebut dan pengertian yang berbeda menurut teolog dan filsuf lainnya dalam pemikiran dan zaman yang berbeda.
Penyelamatan itu ada ketika pertobatan itu ada dan pertobatan ada ketika dosa itu juga ada. Dosa pada saat ini dianggap sebagai suatu pelanggaran pada tindakan, sikap atau dosa juga dianggap sebagai sesuatu yang alami yang melawan atau berlawanan dengan hukum atau perintah Tuhan .

Soteriologi Pra-reformasi
Pada masa pra-reformasi, tepatnya pada masa gereja mula-mula keselamatan dipandang bukan menjadi sesuatu yang telah dianugrahkan Sang Pencipta kepada umatnya. Keselamatan menjadi sebuah sistem didalam gereja yang dimana keselamatan itu didapat dari pertobatan yang telah dilakukan.
Pada abad permulaan, kepercayaan gereja terlihat jelas dalam Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus. Kepercayaan mereka tersebut dapat dirincikan dalam lima bagian yaitu sebagai berikut,
a. Dosa memisahkan manusia dengan Allah
b. Yesus disalibkan untuk menyelamatkan manusia
c. Allah hadir dalam Roh Kudus sebagai pengganti Yesus
d. Gereja adalah kumpulan orang Kristen setempat
e. Roh Kudus memimpi umat Kristen secara langsung
Dalam surat-surat dan kitab-kitab perjanjian lama juga banyak menuliskan tentang inti dosa yang dimana dosa berlawanan langsung dengan keselamatan ilahi. Dosa dianggap jauh lebih mendalam dari sekedar pelanggaran hukum saja namun juga jauh dari pada gangguan dalam relasi antara umat manusia. Hal ini dikarenakan antara Allah dan manusia, dan manusia dengan sesama itu merupakan hal yang kait mengait. Maka, dosa menyangkut seluruh keselarasan yang berarti keselamatan manusia. Yang dimana berdosa pada dasarnya tidak menanggapi kasih Allah.
Selain itu banyak pihak yang pada masa pra-reformasi telah membicarakan tentang soteriologi. Augustinus salah satu orang yang memiliki arti penting dalam perkembangan soteriologi pada agama Kristen.
Sebelum masa Augustinus, banyak ajaran mengenai dosa, rahmat dan keselamatan. Namun pada masa sebelum Augustinus pernyataan yang mereka belum tegas. Sejak adanya Augustinus, pernyataan itu mulai dipertegas, hal-hal mengenai rahmat dan keselamatan yang pada masa sebelum Augustinus memiliki batas yang tidak jelas mulai diperjelas oleh Augustinus. Rahmat yang memiliki cakupan yang luas bersinonim dengan keselamatan kini mulai dipersempit cakupannya oleh Augustinus. Menurut Augustinus rahmat adalah daya kekuatan Allah dalam jiwa manusia supaya manusia dalam perseorangan. jadi Augustinus membuat suatu hubungan atau relasi antara Allah dan manusia dalam hal rahmat.
Augustinus-lah orang pertama yang membicarakan dan mempermasalahkan tentang keselamatan manusia secara individual. Setiap manusia berada dalam keadaan berdosa yang dimana situasi dosa tersebut merupakan keadaan yang tidak dapat diatasi olehnya. Dalam keadaan seperti inilah manusia membutuhkan keselamatan, dan rahmat adalah anugerah Allah untuk memperoleh keselamatan itu. namun akan dapat lebih dimengerti konsep tentang rahmat yang dimaksud Augustinus ketika kita juga mengerti arti dosa menurut Augustinus. Menurut Augustinus, dosa adalah sesuatu yang mampu membelenggu, mengurung dan memperbudak manusia. Kuasa dosa disebut dengan dosa asal. Karena dosa yang pernah dilakukan adam, manusia sudah masuk dalam lingkaran setan yang mengukungnya. Oleh sebab itu apapun usaha yang dilakukan manusia lewat tidakannya sehari-hari takkan membebaskannya dari belenggu setan itu, hanya mengukuhkan perbudakan manusia terhadap dosa.
Rahmat yang dimaksudkan oleh Augustinus-lah yang dapat melepaskan dan menyelamatkan manusia dari kuasa dan belenggu setan. Rahmat yang menyelamatkan semata-mata anugerah dari Allah yang di berikan secara cuma-cuma. Rasa cuma-cuma tersebut semata-mata karena cinta kasih Allah terhadap manusia.
Selain Augustinus ada juga Pelagius yang memiliki ajaran dan pengertian mengenai dosa dan rahmat. Namun dalam hal ini, Pelagius menjurus kepada hal individualisme. Pelagius tidak memperhatikan segi sosial dan historis pada dosa maupun rahmat tersebut. Dosa menurut Pelagius hanya bersifat tindakan saja, hanya tindakan salah. Berbeda dengan Augustinus yang mendefinisikan dosa dengan situasi dimana suatu kuasa yang menguasai manusia, Plagius menganggap dosa adalah tindakan jahat yang dapat dilakukan secara bebas.
Rahmat didefinisikan oleh Pelagius sebagai sesuatu yang diperlukan oleh manusia berdosa yang berupa bantuan yang diberikan Allah “bila perlu”. Bantuan yang dimaksudkan Pelagius terdiri dari 1) kodrat manusia yang memampukan kita untuk berbuat baik 2)hukum Musa mendidik kita dengan memberi untuk petunjuk hidup sesuai dengan panggilan kodrat, teladan dan ajaran Yesus Kristus itu sendiri 3) Pengampunan dosa karena pahala Kristus. Dapat ditarik kesimpulan bahwa dosa asal sejak Adam jatuh kedalam dosa menurut Plagius tidak berpengaruh pada manusia karena manusia ditarik dari kehidupan dan diberikan contoh atau petunjuk hidup yang benar.
Pemahaman Pelagius berbeda dengan pelagianisme dan semipelagianisme yang dimana merupakan aliran teologisnya ditentang oleh gereja. Menurut pelagianisme manusia dapat menghindar dari dosa dengan kekuatannya sendiri dan dapat hidup sempurna apabila diberikan pengajaran yang baik. Dengan demikian pelagianisme memperlemah dan meremehkan ajaran gereja tentang dosa asal sebagai wujud ketidak mampuan manusia menjalin hubungan dengan Tuhan. Dan pelagianisme melihat cara penebusan cuma sebagai pengangkatan kehidupan sampai ketaraf lebih tinggi, sedangkan baptis hanya simbol penerimaan jemaat menjadi anggota gereja. Sehingga dari cara berfikir pelagius dapat di lihat bahwa pelagius tidak melihat karya Allah itu sendiri di dalamnya. hal itu yang membuat gereja secara langsung menolak Pelagianisme. Namun juga ada beberapa kelompok yang memiliki pendapat lain yang dimana kelompok ini mengambil jalan tengah dari Augustinus dan pelagianisme yang dimana mereka disebut Semipelagianisme. Mereka menganggap bahwa orang yang jatuh ke dalam dosa itu seperti orang sakit. Orang sakit dapat saja di sembuhkan, namun setelah ia sembuh ia bebas bekerja dengan kekuatannya tanpa kehadiran. Dimana manusia yang lebih penting dari pada rahmat Allah. Walaupun merupakan jalan tengah namun tetap saja semipelagianisme di tolak oleh Kuasa Mengajar Gereja.
Selain kelompok-kelompok tertentu, terdapat juga Konsili yang merumuskan ajaran Gereja universal untuk melawan pelagianisme. Konsili Kertago diadakan pada tahun 418 yang dimana menghasilkan beberapa keputusan atau hasil yang mendefinisikan tentang dosa.1)Adam diciptakan fana(mortalem) dan akan mati dengan atau tanpa melakukan dosa,2) dosa adam hanya melukai dia bukan manusia, 3) karena maut atau dosa tidak membuat manusia seluruhnya mati sehingga kebangkitan Kristus manusia juga tidak bangkit, 4) anak kecil yang baru lahir sama seperti Adam sebelum dosanya.
Salah satu ungkapan cara pandang abad pertama mengenai dosa dan keselamatan adalah ungkapan Pengakuan Iman Athanasius yang di tulis di Prancis sekitar tahun 500. Pengakuan ini terdiri dari dua bagian yaitu yang pertama mengenai ketritunggalan dan diri Kristus. setiap ayat dari pengakuan ini didahului dan diakhiri dengan ayat kutukan yang bertujuan menjelaska bahwa pentinglah untuk mengikuti ajaran ini apa bila ingin selamat. berbeda dengan Athanasius, Abaelardus lebih melihat pada arti kematian Yesus itu sendiri dan dampaknya pada kita. Abaelardus melihat arti kematian Yesus karna kasihNya kepada kita, dan kita akan tergerak menjawabNya dengan kasih.
Selain pandangan-pandangan bapa-bapa gereja berserta filsuf-filsuf mengenai dosa dan keselamatan, gejala-gejala buruk yang terjadi pada masa Gereja Katolik Roma juga mempengaruhi pandangan tentang dosa dan keselamatan. Gejala buruk pada masa itu berupa takhayul dan omongan-omongan yang membuat jemaat mencari perlindungan dengan cara-cara yang dianjurkan gereja, misalnya berdoa, berpuasa, memberi sedekah dan berziarah. Selain dari jemaat-jemaat yang membuat gejala buruk, ternyata didalam pemerintahan gereja pun terdapat gejala buruk itu. Pastor-pastor bawahan yang miskin dan terbelakang pendidikannya berbanding terbalik keadaannya dengan imam-imam atasan yang hidupnya berlebihan karna berhasil menumpuk kekayaan. Dan gejala yang sangat buruk adalah ketika ada konsiliarisme yang berarti bahwa adanya pengajaran konsili umum merupakan kekuasaan tertinggi.
Pada saat pemerintahan gereja di tangan Paus Leo X, Ia beserta tokoh gereja lainnya ingin membangun gereja yang sangat besar dan dapat dikatakan gedung gereja raksasa dalam rangka mengagungkan nama Gereja Katolik Roma. Dalam melaksanakan cita-citanya Paus Leo X memaklumkan suatu penghapusan dosa bagi orang yang akan memberikan sumbangan, sedangkan di Jerman Johan Tetzel diperdagangkan. Ajaran resmi yang dimiliki Johan Tetzel adalah bahwa surat penghapusan siksa ini hanya berlaku bagi orang-orang yang telah menyesali dosanya dan dosa-dosa itu telah diampuni dengan sakramen pengakuan dosa. Demi meningkatkan lagi penjualan surat-surat penghapusan siksa Johan Tetzel menyatakan bahwa surat-surat itu untuk penghapusan dosa dan mendamaikan manusia dengan Allah. Sehingga pada saat itu orang berpendapat keselamatan dapat diperoleh dengan uang dan dapat diperoleh diluar penyesalan yang tulus dari hati juga diluar dari sakramen-sakramen.
Ada tiga aspek yang dapat dibahas mengenai pandangan gereja mula-mula
1. Pengampunan dosa awal lewat pembaptisan
Dalam masa kekristenan mula-mula, sakramen merupakan cara untuk meyalurkan anugerah Allah selama hidupnya. Pada masa pra-reformasi terdapat sakramen dengan dosa dan keselamatan yaitu baptisan. Baptisan adalah sakramen yang menghapus dosa turunan dan diperlukan mutlak untuk keselamatan. Dosa turunan yang dimaksud adalah dosa yang dibawa manusia dari awal penciptaan(diturunkan oleh Adam) hingga sakramen pembabtisan.
Kepercayaan bapa-bapa gereja mengenai kehidupan orang Kristen saat itu adalah seseorang jemaat Kristen akan memulai hidupnya yang baru ketika ia dalam keadaan yang benar-benar baru yaitu dengan baptisan.
Namun kita tidak bisa memungkiri bahwa sekalipun kita beragama Kristen namun sebagai manusia yang berdosa kita tidak luput dari dosa. Sehingga walaupun dengan baptisan yang memperbaharui hidup seseorang, manusia akan terus terus terjangkit oleh dosa(1 Yoh. 1:8,10). Dengan alasan tersebut baptisan yang dengan tujuan menghapus dosa tersebut harus dilakukan terus menerus.
Dengan konsep gereja yang menganggap babtisan sebagai penghapusan dosa manusia, gereja bahkan menetapkan batas antara apa yang boleh dan tidak dapat dibiarkan. Maka manusia tidak boleh lagi jatuh kedalam dosa yang berat agar manusia tidak kehilangan rahmat yang telah didapatnya dari baptisan tersebut. Dosa-dosa yang ringan, yaitu pelanggaran yang dianggap kecil sehingga dapat diampuni dengan doa, puasa dan derma. sedangkan dosa yang besar tidak dapat di toleransi, melainkan disingkirkan dari gereja.
2. Pengampunan dosa oleh pertobatan dan penebusan dosa
Baptisan yang digunakan untuk penghapusan dosa merupakan konsep yang tidak terlalu efektif, karena ternyata tidak menghapus dosa secara utuh. Hal ini yang membuat banyak jemaat tidak melakukan pembaptisan pada masa mudanya, namun melakukan pembaptisan sampai mereka tua bahkan hampir mati. Hal ini diyakini jemaat sebagai cara yang efektif untuk pengampunan dosa secara total karena penghapusan dari dosa awal hingga dosa ketika hampir mati.
Cara berpikir jemaat yang kritis dan memakai trik sedemikian rupa dalam penghapusan dosa, tidak membuat gereja khususnya para bapa-bapa gereja berhenti berpikir. Bapa-bapa gereja tetap menganjurkan pertobatan atau penebusan dosa sebagai obat setelah dosa telah di babtis. dalam hal pertobatan dan penebusan dosa, bapa gereja memiliki pandangan bahwa seseorang dapat bertobat dan diampuni berkali-kali. Namun hal ini diartikan bahwa gereja mengizinkan jemaatnya untuk berbuat dosa.
3. Pertobatan yang diartikan sebagai penyesalan dan pengakuan sebagai tindakan penebusan.
Bapa gereja mengajarkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan dari penghukuman kekal seseorang harus merasa bersalah untuk dan mengakui dosa setelah baptisan kepada pendeta dan kemudian melakukan tindakan penebusan dosa yang ditunjukan oleh pendeta. Gereja pada masa Katolik Roma juga ingin mengupayakan kesalehan orang-orang dengan sakramen. Maka dari itu orang Kristen pada masa itu beranggapan bahwa kasih karunia Allah turun secara otomatis melalui sakramen dan perbuatan-perbuatan amal, bahkan dengan membayar uang tanpa perobahan hati tertentu.

Soteriologi Reformasi
Pada masa-masa selanjutnya teologi rahmat seperti yang diungkapkan Augustinus berkembang sesuai dengan zamannya dan dengan ciri khasnya masing-masing.
Melihat pandangan gereja tentang doa dan keselamatan, juga melihat keputusan-keputusan tentang pengampunan itu sendiri banyak pihak yang melihat dosa dan keselamatan secara kritis. Pihak-pihak tersebut merupakan kaum reformer yang merasa bahwa anggapan dan tindakan gereja pra-reformasi mengenai dosa dan keselamatan adalah salah membuat mereka mencari cara untuk keluar dari sistem gereja pra-reformasi dan menentang ajaran yang mereka anggap salah tersebut.

Dosa Asal
Pemikiran-pemikiran kritis ini ternyata bukan diawali oleh para reformator, namun pengertian tentang dosa yang sering diperdebatkan telah terjawab melalui Konsili Trente yang dilakukan pada tahun 1545 sampai dengan tahun 1563. Konsili ini tidak hanya membahas mengenai dosa dan rahmat, namun juga ajaran tentang Kitab Suci dan Tradisi serta ajaran mengenai sakramen yang ditetapkan oleh konsili ini secara universal.
Walau didasari dengan ajaran Augustinus, namun Konsili ini tidak meresmikan secara penuh ajaran Augustinus mengenai dosa asal. Konsili ini menyaring ajaran tersebut terus menerus dan merumuskannya berupa dogma Trente. Dalam Kanon 1 merumuskan baik arti maupun akibat dosa adam yaitu; Arti dosa Adam adalah manusia pertama itu kehilangan kesucian dan kebenaran yang didalamnya ia diadakan. Akibat dosa Adam tersebut adalah ia kehilangan segalasesuatu yang dibawa serta soleh kebenaran asali tersebut, khususnya kebebasan dari maut dan kebebasan dari kokupisensi.Arti kokupisensi tersebut ialah ditahan dibawah kekuatan setan dan berubah menjadi lebih buruk lagi. Hakikat dosa itu sendiri memang satu adanya dan berasal usul satu yaitu dosa Adam. Namun itu menjadi dosa turunan yang sampai saat ini dimiliki oleh setiap manusia. Jadi bukan merupakan dosa tiruan seperti yang pernah dikatakan oleh bapa-bapa gereja. Namun untuk penghapusan dosa itu sendiri konsili ini masih memakai cara pandang gereja abad pertama yaitu dengan memakai baptisan. Efek baptisan itu sendiri adalah memnghapuskan dosa-dosa hingga tidak ada yang tertinggal namun kokupisensi masih akan tetap ada.
Calvin dan sedikit Luther mengajarkan bahwa semua dosa seseorang, baik pra and pasca-baptisan, telah diampuni saat seseorang menjadi Kristen. Pengajaran seperti itu dengan jelas menandai perpecahan dari Roma. Bagaimana dengan pengakuan dosa pada pendeta dan melakukan tindakan penebusan dosa? Secara logis, itu akan dihilangkan dalam gereja yang mengadopsi pemikiran reformasi tentang pengampunan dosa.
Calvin yang menolak pemikiran bahwa seseorang harus melakukan tindakan penebusan dosa untuk menebus dosa setelah baptisan agar keselamatannya tetap ada. Dia mengajarkan bahwa kematian Kristus, sekali didapat, menebus seluruh dosa yang sudah dan akan dilakukan. Dalam buku Institutio yang ditulis oleh Calvin, ia menuliskan protes besar terhadap pemahaman dahulu mengenai dosa dan pertobatan. Ia mengatakan bahwa hanya dengan kekuatan Allah saja kemauan manusia bisa bertobat.
Luther dengan misi pribadi dan dengan jiwa yang dengan emosi dan pemarah, namun dalam kemarahannya ia menganggap bahwa itu berguna. Hal yang berguna itu misalnya dalam hal reformasinya dan pertentangannya . Dalam terang pengertian tentang pertobatan, ia berpendapat bahwa walau tindakan penebusan dosa itu sendiri tidak diperlukan, seseorang yang mengabaikan imannya dalam Kristus dan jatuh dalam dosa akan binasa kecuali dia kembali kepada Kristus untuk memperbaharui iman. Luther secara formal menolak tindakan penebusan dosa. Dia merasa hal itu “menyiksa batin sampai mati. Bagaimanapun, secara praktek dia tetap memegang pentingnya hal seperti itu. Untuk diselamatkan dalam penghakiman, menurut Luther, seseorang harus berusaha dalam iman, baik secara moral dan doktrin. Luther marah dengan sistem yang dibuat oleh Katolik Roma dengan sistem pengapusan dosa yang dimiliki oleh gereja tanpa berdamai dengan Allah dengan katalain pertobatan. Dengan berdasarkan 1 Yohane 5 : 15 martin luther dan pengikutnya marah agar mereka melakukan apa yang di perintahkan Tuhan.
Pendapat dan ajaran Luther tentang tentang dosa dan pertobatan, terlihat dalam beberapa dalil yang ia keluarkan, yaitu :
1. Tuhan dan Guru kita Yesus Kristus, ketika Ia mengucapkan "Bertobatlah," dan seterusnya, menyatakan bahwa seluruh hidup orang-orang yang percaya harus diwarnai dengan pertobatan.

2. Kata ini tidak boleh dimengerti mengacu kepada hukuman sakramental; maksudnya, berkaitan dengan proses pengakuan dan pelepasan (dosa), yang diberikan oleh imam-imam yang dilakukan di bawah pelayanan imam-imam.

3. Dan, pertobatan tidak hanya mengacu pada penyesalan batiniah; tidak, penyesalan batiniah semacam itu tidak ada artinya, kecuali secara lahiriah menghasilkan pendisiplinan diri terhadap keinginan daging.

4. Jadi, hukuman itu terus berlanjut selama ada kebencian pada diri sendiri - maksudnya, penyesalan batin yang sejati berlanjut: yaitu, sampai kita masuk ke dalam kerajaan surga.
5. Allah tidak pernah mengampuni dosa apa pun, tanpa pada saat yang sama Dia menundukkan diri manusia itu, merendahkan diri da1am sega1a sesuatu, kepada otoritas imam, wakilnya.

6. Peraturan pengakuan dosa hanya dikenakan pada orang yang hidup dan tidak seharusnya dikenakan pada orang yang mati; menurut peraturan tersebut.

Dalam hal pertobatan, gereja pada pra-reformasi menganggap bahwa pertobatan yang sebagai penyesalan dan pengakuan sebagai tindakan penebusan. Berbeda dengan definisi gereja akan pertobatan(metanoia) yang meliputi penyesalan, pengakuan dan tindakan penebusan dosa, Calvin dan Luther menyimpulkan bahwa itu membantu suatu "perubahan pikiran." “Perubahan pikiran” adalah penyadaran bahwa manusia melakukan kesalahan dan jatuh kedalam dosa yang membuat ia sadar bahwa ia perlu pengampunan yang membuat imannnya berbalik kepada Tuhan sehinga mendapat pengampunan dari Allah itu sendiri. Dari hal ini terlihat bahwa Calvin dan Luther melihat bahwa pertobatan dan pengampunan merupakan sesuatu yang penting.
REFLEKSI TEOLOGIS
Dalam kehidupan berorganisasi digereja, kita dapat melihat bahwa setiap gereja memiliki struktur organisasi sendiri dan setiap gereja berbeda. Sama seperti gereja pada abad awal yang juga memiliki struktur yang sangat ketat, khususnya tentang dosa dan keselamatan dan cara pertobatannya. Menurut saya(sebagai refleksi teologis pertama) struktural atau aturan aturan yang dibentuk oleh gereja membuat arti dari dosa, keselamatan dan pertobatan yang sebenarnya tersebut hilang. Doktrin-doktrin dan dogma-dogma membuat jemaat kristen menjadi tidak dapat merenungkan dan mengerti arti dosa, keselamatan dan perobatan dengan akal budi dan hati yang telah diciptakan pada awal penciptaan.
Hal diatas dapat dibuktikan dari kepatuhan jemaat zaman dahulu terhadap aturan yang dibuat gereja. Mulai dari arti dosa hingga pertobatan yang dianggap mudah dan disetarakan dengan barang yang dapat dibeli misalnya indulgesia, baptisan yang berkali-kali yang dilakukan untuk penghapusan dosa dan memperoleh keselamatan.
Hal ini juga sebenarnya berlaku pada zaman reformasi yang membuat semakin banyak orang-orang yang berpikiran kritis dan gereja pun semakin terpecah. Perpecahan tersebut karena orang-orang yang didalamnya merasa terlalu terikat dengan dogma dan doktrin yang mereka miliki.
Hal kedua yang saya refleksikan ialah mengenai paham gereja, yang dihasilkan dari reformasi pada abad ke 16. Dari abad permulaan hingga reformasi, banyak orang-orang yang berpendapat tentang dosa, keselamatan dan pertobatan, namun semua pendapat tersebut memilik kekurangan dan mendapat kritik dari berbagai pihak. Hal ini mendakan bahwa tidak ada pendapat dan pemahaman yang sempurna mengenai dosa, keselamatan dan pertobatan itu.
Misalnya pemahaman yang dimiliki Calvin dan Luther tentang dosa, keselamatan dan pertobatan. Seharusnya sebagai jemaat kristen kita harus menyadari bahwa para reformator kita tersebut hanyalah manusia biasa yang tidak sempurna. Begitu pula dengan ajarannya yang so pasti tidak sempurna walau pun ajaran mereka terpusat pada Alkitab yang menjadi dasar ajarannya. Pada zaman sekarang gereja dengan alirannya juga menganggap bahwa pendapat dan ajaran reformator yang dianut gereja adalah yang paling benar. Padahal tanpa disadari bahwa ajaran para reformatornya merupakan sesuatu yang sempurna. Benar memang mereka memiliki ajaran dengan dasar Alkitab yang berisi firman Tuhan, namun para reformator ini tidak tahu apa dan bagaimana konsep Tuhan sendiri tentang dosa, keselamatan dan pertobatan dan apa mau Tuhan yang sebenarnya.
Sebagai jemaat yang menganut paham Calvinis, saya harus berfikiran kritis dan tidak fanatis terhadap paham dan ajaran yang dianut gereja saya. Dan dengan memakai dan mempraktekkan kata-kata bahwa sebenarnya reformasi adalah perubahan terus menerus, saya akan juga terus berprotes dan bersikap kritis yang akan memberi pemahaman tersendiri tentang apa itu sebenarnya arti dosa, keselamatan, dan pertobatan yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka
Berkhof, H dan I.H. Enklaar. 2009. Sejarah Gereja. Jakarta : BPK Gunung Mulia
Calvin, Yohanes. 2008. Institutio: Pengajaran Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Dister, Nico Syukur. 2004. Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan. Jogjakarta: Kanisius
Edwards, Mark U. 1983. Luther’s Last Battels : Polotics and Polemics. 1531-46. United States : Leiden E.J. Brill
Gronoen, C. 2000. Soteriologi Aliktabiah: Keselamatan Yang Diberitakan Alkitab. Jogjakarta:Kanisius
Heath, W. Stanley.2005. Pelurusan Teologi Akhir Zaman. Bandung: Yayasan Kalam Hidup
Lane, Tony. 2009. Runtut Pijar: Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta. BPK Gunung Mulia
Luther, Martin. 2003. Katekismus Besar. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Jumat, 10 Desember 2010

Paper pendekatan Pendidikan Kristiani yang kontekstual

Pendahuluan
Dalam proses Pendidikan Kristiani memiliki pendekatan-pendekatan yang dipakai, yaitu pendekatan instrukional, pertumbuhan spiritual, komunitas iman dan transformasi. Dimana dalam proses pendidikan beberapa gereja memakai keempat pendekatan ini namun ada juga beberapa gereja yang tidak dapat menerapkan keempatnya.
Dalam paper ini, saya akan mencoba menguraikan empat pendekatan tersebut dan menilai serta merelevansikannya dalam kehidupan gereja. Tidak hanya sekedar itu, saya juga akan mencoba memberikan pendekatan yang cocok melihat konteks dan latar belakang gereja yang menjadi tempat saya mengamati, dan memberikan saran dalam pelaksanaan dan penerapan pendekatan tersebut.
I. Konteks Kehidupan GBKP Sei Tapung
Gereja Batak Karo Protestan(GBKP) Jemaat Sei Tapung merupakan jemaat yang merupakan bagian dari GBKP klasis Riau-Sumbar yang terletak di Provinsi Riau Kabupaten Rokan Hulu Kecamatan Ujung batu. GBKP Sei Tapung merupakan bagian dari runggun Ujung Batu-Maranatha Kabun. Runggun merupakan bagian yang lebih kecil dari Klasis yang terdiri dari 5 gereja di daerah berbeda yang disebut perpulungen. Runggun Ujung Batu-Matranatha Kabun terdiri dari 5 perpulungen yaitu GBKP perpulungen Sei Intan, GBKP perpulungen Ujung Batu, GBKP perpulungen Koto Kampar, GBKP perpulungen Maranatha Kabun dan GBKP perpulungen Sei Tapung. Runggun ini hanya memiliki satu orang pendeta, sedangkan jarak antara satu perpulungen dengan yang lain cukup jauh.
GBKP Jemaat Sei Tapung berdiri di tengah-tengah kebun kelapa sawit milik PTPN V yang dimana masyarakat nya mayoritas beragama Islam. Walau hidup berdampingan dengan masyarakat muslim, namun jemaat hampir tidak pernah memiliki masalah. Hal ini mungkin juga di pengaruhi dari pekerjaan mereka yang sama, yaitu sebagai karyawan PTPN V. Pekerjaan mempengaruhi kerukunan karena menurut saya mereka memiliki tujuan yang sama berada di perkebunan ini. Kehidupan jemaat yang berdekatan karena faktor tempat tinggal yang berupa perumahan milik PTPN V, membuat jemaat mengenal dekat satu dengan yang lainnya. Bukan hanya faktor rumah yang berdekatan namun juga lamanya tinggal di Sei Tapung yang dimana sebagian besar jemaat sudah tinggal lebih dari lima tahun. Contohnya saja salah seorang jemaat bernama Rinaldi Sembiring, yang tinggal sudah hampir dua puluh tahun.
Sebagai jemaat GBKP Sei Tapung merupakan gereja dengan profil homogen dalam dimensi sosio-kultural. Homogenitas yang pertama adalah budaya, karena GBKP merupakan gereja kesukuan dapat dikatakan jemaat bersuku karo. Homogenitas juga terlihat dari pekerjaan yang dimana merupakan karyawan. Walau memiliki profil jemaat yang homogen namun kompleksitas masalah yang dihadapi, dimulai dari masalah dalam keluarga , masalah sesama jemaat dan juga pekerjaan.
Saat ini jemaat mengalami kendala dalam pekerjaan yang sanga mempengaruhi keadaan gereja. Saat ini PTPN V memiliki manager yang sangat disiplin dalah hal waktu. Waktu bekerja yang tepat dan juga kehadiran sangat diperhatikan oleh manager. Pengaruh pada gereja adalah ketika hari minggu jemaat berkurang sangat banyak karena harus bekerja, selain itu dalam kehadiran jemaat pada PA yang diadakan juga berkurang. Bukan hanya hal itu namun juga pengaturan majelis juga sedikit sulit karena jadwal yang hampir sama pada majelis dalam pekerjaannya.
II. Konteks Internal Pendidikan Kristian Di GBKP Sei Tapung
Dilihat melalui konteks pendidikan kristiani di GBKP Sei Tapung cukup memperihatinkan. Hal ini memiliki faktor yang cukup kompleks. Yang pertama jemaat kurang memiliki pengetahuan tentang pentingnya pendidikan kristiani dalam pertumbuhan jemaat. Selain itu, sumber daya yang minim di jemaat juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pendidikan kristiani yang kurang baik. Di Sei Tapung banyak pemuda-pemudi yang melanjutkan pendidikan keluar sehingga untuk pendidikan kristiani pada anak yang umumnya ditangani pemuda-pemudi menjadi seperti tidak terurus dan tidak terlalu mendapat perhatian khusus.
Saat ini terdapat empat guru sekolah minggu yang terdiri dari dua anak remaja dan dua merupakan ibu rumah tangga, namun keempat guru sekolah minggu juga tidak pernah diberikan pembinaan sebagai guru sekolah minggu. Menurut hasil wawancara dengan majelis GBKP Sei Tapung, hal itu disebabkan oleh wilayah yang cukup luas namun pendeta yang ada hanya satu. Menurut majelis dalam program klasis telah terprogram pembinaan namun pelaksanaan di Ruggun Ujung Batu – Maranatha Kabun belum terlaksana karena faktor-faktor yang tidak disebutkan oleh majelis.
Terdapat perhatian terhadap pendidikan kristiani dalam hal sekola minggu yaitu diperhatikan oleh komisi anak yang ditangani oleh seorang diaken. Dalam sekolah minggu kurikulum yang dipakai adalah buku bahan pengajaran yang disusun dan dicetak oleh sinode GBKP.
Pembahasan
• Religious instruction(pendekatan instruksi)
Konsep atau pemikiran tentang “instruksi” didapat dari pemikiran pendidikan formal yang memiliki meja, kursi, papan tulis, kapur tulis dan hal-hal umum lainnya yang biasa terdapat didalam kelas yang formal di sekolah-sekolah. Selain suasana kelas formal, juga terdapat konsep pemikiran dimana terdapat batasan-batasan antara guru dan murid dimana guru bertugas mengajar dan murid mendengarkan dan mengerti yang diajarkan oleh guru. Karena memilikikonsep pendidikan seperti pendidikan formal atau seperti pendidikan di sekolahan, maka dapat di perkirakan akan terdapat kelas-kelas tertentu.
Namun dalam Pendidikan Kristiani terdapat transformasi tentang konsep “instruksi” yang telah ada dan telah terbentuk. Dalam pendekatan “instruksi” diharapkan terdapat Homemaking sebagai cara alternatif. Dalam pendekatan ini, homemaking diharapkan dapat menyamarkan batasan yang sangat terlihat antara guru dan naradidik. Homemaking dapat membangun sebuah komunitas belajar dimana guru dan murid saling belajar lewat berbagi. Homemaking juga berbeda penerapannya satu dengan yang lain. Ada beberapa yang menerapkan didalam relasi yang sangat akrab ada juga penerapan didalam suasana tempat. Seymour mengatakan dalam pengalamannya ia pernah melihat sebuah kelas yang diisi oleh sebuah group yang menaruh berbagai ornamen dikelasnya sehingga mereka dapat merasa seperti hidup dan berada dirumah sendiri.
Tujuan dari pendekatan ini secara padat dikatakan Seymour pada bukunya pada halaman 21 yaitu memampukan naradidik mendasarkan diri pada iman yang alkitabiah dan menghubungkan isi iman dan alkitabiah. Dalam hal ini iman kristen dan kehidupan nyata harus berpadu seimbang sehingga kita tidak hanya mementingkan iman kristen ataupun kepercayaan kepada Tuhan saja namun juga kehidupan kita sehari-hari. Dalam sekolah minggu pendekatan ini sering dipakai, sehingga terdapat konsep yaitu

Sehingga dalam hal ini pendekatan instruksional dan pendidikan kristiani memiliki tiga tujuan yaitu yang pertama memampukan naradidik mendasarkan diri pada iman alkitabiah. Yang kedua adalah memfokuskan pada suasana mengajar dan belajar. Berfokus pada metode belajar mengajar yang disesuaikan dengan konten yang diajar.
Guru adalah seseorang yang sangat berperan dalam pendekatan ini. Pendidik atau sering disebut guru merupakan orang yang banyak ambil andil dalam pendekatan ini karena kontribusinya dalam proses pembelajaran, dan guru juga menghargai setiap proses dalam proses pembelajaran itu. Sehingga dalam mengharagai guru juga memperhatikan sehingga dapat menilai hal yang baik dan kurang baik dalam proses itu lalu dapat memperbaikinya yang dapat di terapkan kepada pendidikan yang selanjutnya. selain itu, dalam setiap prosesnya guru harus merasa bahwa setiap proses itu penting. Dalam hal memberikan instruksi, pendekatan ini menuntut agar di dalam proses guru membuat atau menerapkan konsep homemaking yang dipakai dalam pendekatan ini. Sehingga dalam perhatian yang ditaruh guru, guru dapat mempertimbangkan dan menilai apakah pendekatan ini baik atau tidak.
Murid dalam pendekatan ini bertanggung jawab penuh dalam prosesnya. Karena ketika guru melakukan tugasnya tetapi naradidik tidak mengambil dan melaksanakan perannya berarti ia tidak berproses saat itu juga. Dalam proses tersebut diharapkan naradidik dapat berefleksi teologis yang terjadi didalam mengetahui, mengintepretasi, mengidupi dan melakukan imannya secara pribadi. Namun didalam prosesnya, seperti kelas formal naradidik tidak berproses dan dididik sendiri namun beberapa sesuai pembagiannya yang disebut komunitas belajar. Didalam komunitas belajar di harapkan timbul suasana saling menghargai setiap proses dan suasana belajar, suasana harapan untuk tumbuh dan bertanggung jawab, saling belajar baik guru maupun murid, dan proses dalam suasana yang bersifat eksperiensial(pengalaman). Implikasinya dalam pelayanan adalam untuk menyiapkan naradidik agar beriman dan dapat hidup secara bertanggung jawab dan menghadapi dunia. Naradidik juga disiapkan untuk menghadapi kehidupan di dunia dengan mengacu pada iman yang dimilikinya .
• Pendekatan Perkembangan Spiritual
Pendekatan ini bertujuan untuk membantu orang-orang agar dapat meningkatkan kehidupan pribadinya dan dapat memberikan respon dengan memberikan tindakan keluar terhadap orang lain dan kepada dunia. Dalam hal ini diharapkan naradidik dapat belajar mengenali dirina terlebih dahulu lalu dapat bertindak dengan menentukan tindakan sesuai kepercayaannya dari pengenalan diri yang ia lakukan. Dalam pendekatan ini, guru berperan hanya sebagai penunjuk kepada nara didik. Dengan petunjuk-petunjuk itu-lah diharapkan nara didik berkembang secara pribadi sesuai dengan keinginan dan prosesnya maing-masing sehingga diharapkan dapat memberikan tindakan keluar sesuai pemahaman pribadi yang dialaminya.
Dalam Pendidikan Kristiani pendekatan-pendekatan merupakan proses, dan diharapkan naradidiklah yang berada dalam proses perjalanan itu. Yang menentukan berhasil tidaknya pendekatan ini tergantung pada naradidik. Keberhasilan pendekatan ini terjadi apabila naradidik mengikuti petunjuk dari guru. Menurut Seymour proses pembelajaran dapat dilakukan dengan hening(meditasi), mendengarkan, istirahat, belajar dan melayani. Dalam proses ini terlihat pendekatan ini mengajak nara didik bertumbuh dan berkembang berdasarkan imannya sendiri.
Pendekatan ini mengutamakan pengalaman-pengalaman pribadi naradidik, hal ini menyebabkan perkembangan anak yang satu dengan anak yang lain berbeda-beda. Namun pengalaman yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan adalah pengalamaman yang di refleksikan.
Wujud nyata atau implikasi pendekatan ini dalam pelayanan adalah berusaha untuk menghubungkan naradidik dengan kehidupan ini secara mendalam didalam membangun relasi persahabatan, hubungan, keadilan dan kepedulian. Dalammembangun hubungan, pendekatan ini bertujuan agar naradidik belajar dari pengalaman yang dialami, sehingga dapat membangun hubungan-hubungan dengan lebih baik.
a) Adapun tokoh-tokoh yang ikut medukung pendekatan ini dengan mengemukakan teori-teori mereka, adalah :
1. Jean Piaget, yang mengemukakan teori perkembangan kognitif manusia. Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap yaitu tahap sensomotor, tahap praoperasi, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal . Tahap ini hanya menunjukkan tahap perkembangan kognitif saja tanpa memperhatikan unsur lain yang juga berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tahap perkembangan kognitif manusia maksudnya adalah tahap perkembangan otak seseorang dan kedewasaan seseorang diukur melalui bagaimana dia dapat berpikir secara nalar. Urutan yang ada dalam perkembangan kognitif ialah,
Sensori Motor 0-2 tahun
Praoperasi 2-7 tahun
Operasi konkret 8-11 tahun
Operasi formal 11 tahun keatas
Urutan tahap diatas tidak dapat ditukar, karena tiap tahap saling berkaitan yaitu tahap sesudahnya menentukan tahap sebelumnya, dan tahap tidak mungkin berulang atau mundur.
2. L. Kohlberg, yang mengemukakan teori perkembangan moral. Kohlberg meneliti perkembangan moral manusia dalam rangka melakukan pendekatan pertumbuhan iman. Kohlberg membagi tahap perkembangan moral seseorang menjadi tiga tahap yaitu :
a. Tahap Pra-Konvensional, pada tahap ini anak peka terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan mengenai baik buruk . Pada tahap ini anak lebih memandang baik buruknya sesuatu dari segi fisiknya saja dan kadang mereka menganggap sesuatu baik jika memuaskan mereka atau orang lain.
b. Tahap Konvensional, adalah tahap ketika seseorang sudah bisa menghargai hukum, tetapi mereka menghargai hukum dikarenakan mereka takut pada hukum itu atau karena ingin dianggap sebagai “anak manis” .
c. Tahap Post-Konvensional, adalah pada tahap ini seseorang sudah mencapai
puncak dari perkembangan moral manusia. Pada tahap ini seseorang melakukan suatu kebaikan bukan karena takut akan hukum melainkan karena kesadaran mereka untuk melakukan kebaikan . Pada tahap ini juga seolah-olah tidak lagi diperlukan adanya hukum yang mengatur kehidupan manusia karena pada tahap ini seseorang sudah mengakui persamaan derajat diantara sesama manusia. Jadi manusia tidak akan melakukan kejahatan kepada sesamanya.
3. Erik Erikson, yang mengemukakan teori psikososial. Yang dimaksudkan teori psikososial yakni menyelidiki hakiakat manusia . Erikson mengatakan bahwa perkembangan iman seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat seseorang itu bertumbuh dan berkembang.
4. Fowler, yang mengemukakan teori perkembangan kepercayaan. Pada teorinya ini yang ditekankan oleh Fowler adalah sisi kepercayaan seseorang bukan tentang isi iman orang tersebut . Fowler tidak menekankan isi atau struktur dari isi iman Kristen yang dipelajari tetapi pada kepercayaannya karena kepercayaan adalah unsur yang paling menetukan dibandingkan dengan isi atau struktur dari apa yang mau diajarkan. Jika seseorang terus dilatih untuk hanya percaya pada semua kata-kata guru maka selamanya anak ini akan sulit untuk bisa berfikir secara kritis.
• Pendekatan Komunitas Iman
pendekatan ini sangat menitik beratkan pada komunitasnya. Dimana tujuan dari pendekatan ini agar naradidik dapat membentuk dan memilih komunitas yang akan ia ikuti dalam membangun perkembangan imannya. Karena titik berat pendekatan ini merupakan komunitas itu sendiri sehingga membuat suatu komunitas iman yang dapat membangun iman setiap anggota dalam komunitas tersebut dan mampu memberikan tindakan keluar.
Awalnya yang melatar belakangi pendekatan ini adalah dimana kodrat manusia sebagai makhluk sosial, sehingga latar belakang ini adalah kebutuhan akan komunitas. Dalam komunitas kebutuhan akan story telling, sharing/ berbagi pengalaman akan dialami oleh komunitas. komunitas sebagai tujuan pendidikan kristiani berarti tiga hal; sebuah nilai ideal berdasarkan norma, refleksi dan dukungan, proses yang dialektis.
Komunitas iman berbeda dengan kata kumpulan orang-orang yang hanya mempunyai peran masing-masing. Komunitas iman harus memiliki kata kunci “saling” dan “aksi”. Jadi berbeda dengan pendekatan instruksional yang memiliki konsep relevansi satu arah namun disini memiliki relevansi yang dua arah.
Komunitas iman terkadang juga diartikan sebagai kelompok yang mengadakan ibadah dan sharing, padahal didalamnya tidak ada unsur aksi yang dilakukan oleh komunitas.



Dalam komunitas semua berproses dan berkembang. Naradidik merupakan orang-orang yang terdapat didalam komunitas iman.
Ada tiga hal yang menjadi inti dalam metode pendekatan pelayanan, refleksi dan komunitas atau persekutuan. Pelayanan merupakan aksi untuk membangun kehidupan komunitas untuk menjadikan perubahan transformasi. Refleksi adalah interpretasi dari kata dewa di kehadiran dan artikulasi identitas kita sebagai orang Kristen. Dan komunitas atau persekutuan adalah penciptaan dan pemeliharaan obligasi dalam komunitas gereja tertentu, dan di antara komunitas-komunitas lain. pelayanan adalah ekspresi dari aksi atau membuat perbedaan. Sebagai aksi(tangan) berhubungan dengan refleksi(kepala) dan komunitas atau persekutuan(heart)
Disini guru hanya memfasilitasi dan menjadi pengarah saja didalam kelompok-kelompok kecil komunitas iman. Implikasi pedekatan ini terhadap pelayanan adalah untuk membantu kelompok kecil atau gereja untuk bisa menambah komunitas-komunitas dalam gereja. Dengan adanya suatu komunitas dalam gereja maka akan mempermudah gereja untuk bisa menjamah seluruh warga jemaatnya. Selain itu dengan kelompok yang lebih kecil biasanya orang lebih mudah untuk bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya sehingga gereja lebih mengerti masalah yang dihadapi oleh jemaatnya dan gereja bisa menyelesaikan masalah tersebut.
• Pendekatan Transformasi
pendekatan transformasi dan komunitas iman memiliki hubungan dalam hal kemiripan teori, dimana keduanya memakai teori pembebasan.
Mendahulukan orang-orang yang miskin dalam pemenuhan printah ALLAH dalam mengasihi ALLAH dan sesama. Tujuan dari pendekatan ini adalah memunculan atau perubahan manusia perlahan dalam terang pemerintahan Tuhan. Namun perubahan ini berpengaruh terhadap perubahan sosial . Disini batas antara guru dan murid sama, karena didalamnya keduanya sama-sama belajar dalam mengembangkan dan menumbuhkan imannya. Murid dan Guru menjadi mitra, guru bertugas membantu nara didik dalam melihat realita yang buruk yang pada awalnya berencana untuk diubah.Guru sebagai sponsor juga mitra yang sama dalam perjalanan hidup dan iman. Guru dan naradidik sama-sama belajar dari refleksi lewat apa yang telah mereka lakukan. Naradidik adalah makhluk komunal terpanggil untuk hubungan yang benar dan penuh kasih dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan penciptaan.
Dalam prosesnya terdapat tiga pertumbuhan pada naradidik; 1) Tumbuh dalam visi Allah yang hidup, dimana guru dan nara didik memakai mata Allah dalam melihat realita yang ada. Dimana setiap orang memiliki panggilan dari Allah untuk mengasihi Allah, sesama dan alam semesta.2)Bertumbuh dalam nilai-nilai Kristus, dimana kita hidup terfokus pada pelayanan kepada Allah, mencintai sesama, dan juga tidak ketinggalan alam semesta. 3) Bertumbuh dalam panggilan Allah, baik sebagai guru maupun sebagai naradidik.
Dalam proses pertumbuhan, terdapat tiga gerakan penting dimana seorang naradidik harus melihat, menilai dan menentukan lalu beraksi. Dalam konteks gereja yang berbelarasa dan pelayanan-pelayanannya di dalam dan bersama dunia. Sehingga implikasi pendekatan ini untuk pelayanan adalah untuk mendukung panggilan gereja untuk menjadi cara alternatif dalam melihat kehidupan, berada dan hidup.
Gereja dan Pembahasan
Melihat konteks gereja yang homogen , menurut penulis ada dua pendekatan yang cocok di terapkan di GBKP Sei Tapung yaitu pendekatan perkembembangan spiritual dan pendekatan komunitas iman. Hal ini dikarenakan penulis melihat konteks gereja yang homogen namun didalamnya terdapat masalah yang sangat kompleks. Melalui pendekatan perkembangan spiritual, secara individu gereja dapat mengamati lebih intensif jemaatnya. Misalnya dalam bidang spiritual, ekonomi maupun sosial seara lebih mendalam, hal itu sebagai tindakan atas pencegahan atas timbulnya masalah dari berbagai bidang. Menurut penulis pendekatan komunitas iman dalam gereja yang homogen baik pekerjaan maupun budaya, akan lebih dapat terlaksana mengingat adanya latarbelakang dan kebudayaan yang sama sehingga kata “saling” dapat di terapkan. Apabila spiritual individu dan spiritual komunitas telah terbangun, akan mempermudah terjadinya “aksi” yang merupakan bagian dari pendekatan komunitas iman.

Saran Terhadap Pendekatan
Dengan melihat gereja dan pendekatan yang cocok diterapkan, penulis yang sebagai mahasiswa yang mngambil matakuliah Pendidikan Kristiani, memberikan beberapa saran dalam penerapan pendekatan. Pendekatan perkembangan spiritualitas sebenarnya memiliki kendala dalam hal tenaga pendeta yang kurang, dimana dalam wilayah yang luas hanya terdapat seorang pendeta saja. Namun penulis tidak memberikan saran dalam berupa kritikan. Meskipun kegiatan dan kesibukan sebagai seorang pendeta dan majelis sangatlah banyak, namun penulis menyarankan agar pendeta dan majelis membuat sebuah roster atau jadwal secara pasti dalam program Perkunjungan Rumah Tangga(PRT) dimana mengingat bahwa PRT hanya dilakukan ketika ada sesuatu yang di kategorikan sebagai masalah. Namun penulis menyarankan dibuat dan dilaksanakan jadwal PRT sebagai pencegahan timbulnya masalah, atau setidaknya dapat langsung mengidentifikasi masalah tersebut lebih awal sebelum lebih rumit lagi.
Dalam pendekatan komunitas iman, penulis melihat bahwa kata “saling” yang merupakan dasar pembentukan komunitas iman itu sendiri. Aksi merupakan kegiatan akhir sebelum jemaat melakukan refleksi, namun aksi keluar tidak akan terlaksana apabila “saling” tidak terlaksana terlebih dahulu. Pengaruh pendekatan instruksional sangat mempengaruhi jemaat sehingga membuat jemaat bergantung pada pendeta. Namun komunitas iman bukan hanya pendeta yang berperan namun juga jemaat. Kata “saling” menuntut jemaat untuk lebih dan lebih lagi berpartisipasi dalam membangun spiritualitas komunitas. Contoh nyatanya adalah ketika terjadi persekutuan didalam komunitas, seharusnya jemaat benar-benar berpartisipasi dalam sharing atau berbagi pengalaman sehingga “saling” dapat menjadi saling peduli, saling mengerti, saling mendoakan, saling mengasihi, saling menegur, saling membantu, dan saling-saling yang lainnya yang dapat membangun spiritual komunitas.
Daftar Pustaka
Seymour, Jack L. Mapping Christian Education. Nashville: Abingdon Press,1997
Cremers, Agus.Tahap-tahap perkembangan kepercayaan menurut James W.fowler. Jogjakarta : Kanisius,1995
Suparno, Paul. Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius,2001
Thearona, Frebin.Laporan pengamatan jemaat.2010